SKPT Morotai dan Kebijakan Pengelolaan Perikanan
(Pernah terbit di REPUBLIKA, edisi 18 Januari 2018 08:10 WIB)
Oleh
: Kismanto Koroy
Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas
Pasifik - Morotai; dan
Direktur Pusat Kajian Pesisir dan Laut –
Maluku Utara (PKPL-MU)
SKPT (Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu)
merupakan salah satu program yang dicanangkan oleh pemerintah melalui
Kementerian Kelautan dan Perikanan – KKP RI pada tahun 2015 yang termaktub
dalam Peraturan Menteri nomor 48/PERMEN-KP/2015 tentang pedoman umum pembangunan sentra kelautan dan perikanan
terpadu di pulau-pulau kecil dan kawasan perbatasan. SKPT Morotai merupakan
salah satu dari 12 SKPT di Indonesia yang sudah dibiayai oleh pemerintah pada
tahun 2017, dan akan bertambah lagi sebanyak 31 SKPT sampai dengan tahun 2019
berdasarkan Perpres nomor 16 tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia. Secara
geografis pulau Morotai berada di bibir pasifik dan berbatasan langsung dengan
Negara Republik Palau dan Philipina. Tak hanya sebagai daerah perbatasan,
perairan pulau Morotai juga dikenal sebagai wilayah migrasi beberapa jenis ikan
Tuna dan ikan bernilai ekonomis lainnya. Pendekatan sumberdaya dan geostrategis
wilayah pulau Morotai menjadi dasar ditetapkan sebagai SKPT dan program-program
nasional lainnya seperti KEK (Kawasan Ekonomi Khusus), Kawasan Destinasi Wisata
Nasional, dan KSN (Kawasan Strategis Nasional).
Berdasarkan
dokumen KEPMEN-KP, secara khusus SKPT bertujuan untuk mendorong serta
mewujudkan Visi dan Misi KKP yaitu
Kedaulatan, Keberlanjutan, dan Kesejahteraan. Menilik kembali semangat dan
upaya besar yang didengungkan oleh KKP, maka patut di acungi jempol. Hal
tersebut bukan tanpa alasan, beberapa upaya sangat nyata telah diperlihatkan
kepada rakyat Indonesia dengan kebijakannya yaitu “IUU Fishing, penenggelaman
kapal asing, melarang alat-alat tangkap yang merusak lingkungan, reformasi/ perbaikan
sistem birokrasi dilingkup KKP-RI sampai pada tingkat teknis di daerah-daerah”,
serta beberapa kebijakan lainnya yang tidak dapat diuraikan satu per satu.
Kita
tentu berbangga dengan terobosan yang dilakukan oleh pemerintah, meskipun belum
sepenuhnya dapat menjawab keinginan dan hasrat nelayan tentang kesejahteraan.
Penerjemahan kebijakan dan aturan di tingkat teknis acap kali menuai protes,
pro-kontra di kalangan akar rumput hingga elit bermunculan bagai menabur pakan
di kolam pembudidaya. Secara manusiawi, hal tersebut sudah menjadi rahasia publik
dan lumrah untuk dipertontonkan. Beberapa kebijakan yang dianggap tidak pro
terhadap kepentingan masyarakat nelayan seperti penyaluran bantuan kapal/alat
tangkap yang salah sasaran, kebijakan penarikan kembali bantuan oleh pemerintah
karena dianggap tidak sesuai dengan standar operasional prosedur penggunaan barang
tersebut, sudah sering kali dijadikan sebagai alasan klasik. Padahal ketika
kita kembali untuk menyemangati Visi dan Misi KKP-RI yang juga dikaitkan dengan
semangat Nawacita dan ambisi Presiden
untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, maka pentingnya
dilakukan penekanan pada pembangunan sarana dan prasarana penunjang serta sistem
pengelolaan perikanan yang tidak pilih kasih dan tebang pilih. Selain itu juga
SKPT hadir untuk menyediakan seluruh sarana prasarana bisnis perikanan seperti
pelabuhan ikan, tempat pelelangan ikan, Coldstroage,
tempat perbaikan kapal, penyediaan BBM dan es, karantina untuk ekspor
hingga tempat penginapan nelayan.
Secara
khusus, penulis menemukan beberapa masalah klasik seperti pada uraian diatas yang
menyebabkan pengelolaan perikanan sangat lambat terealisasi. Bersamaan dengan “Riset Model Integrasi Ekonomi Dalam Mendukung Percepatan Industrialisasi Perikanan Nasional” yang di lakukan oleh Puslitbang-KP pada akhir tahun 2017
lalu, penulis merangkum beberapa temuan-temuan yang cukup variasi mulai dari penyaluran bantuan yang
salah sasaran dan pilih kasih, pemberian bantuan yang tidak dapat dioperasikan,
penarikan kembali bantuan, hingga penjualan kembali bantuan kepada pihak ketiga,
serta lemahnya sistem kelembagaan ekonomi nelayan. Mengamati masalah-masalah
seperti ini, penulis berpendapat bahwa modelling
atau sistem pengelolaan perikanan yang diterjemahkan oleh unsur teknis masih
sangat kaku dan belum sepenuhnya ditangguhkan untuk kepentingan kesejahteraan
dan kemakmuran masyarakat nelayan.
Permasalahan
yang ditemukan dalam pengelolaan perikanan secara terpadu di Maluku Utara,
hendaknya tidak cukup pula pada penyaluran bantuan atau secara materil, akan
tetapi fokus masalah juga harus memperhatikan sistem bisnis perikanan yang erat
kaitannya dengan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Monopoli bisnis dan
penguasaan pasar secara sepihak sering juga dipertontonkan. Kasus bisnis
perikanan yang juga sering ditemukan adalah melonjaknya harga ikan hingga tak
menentu pada musim-musim tertentu, terbatasnya stok ikan di PPI, TPI, dan
pasar-pasar lokal, padahal disisi lain kebijakan pemerintah dengan
kampanye-nya “Gemar Makan Ikan”. Mestinya
pembangunan sarana dan prasarana juga mempertimbangkan sistem bisnis perikanan,
sehingga masyarakat tidak lagi dibuat “galau”.
Mencermati
hal seperti demikian di atas, pertanyaannya “
Pantaskah kita menyematkan diri sebagai kawasan sentra perikanan terpadu atau
lumbung ikan nasional.? ”, Cukupkah kita melakukan event-event mancing mania,
lantas mengabaikan prinsip pemberdayaan dalam mendukung aktifitas ekonomi
masyarakat nelayan kita.? Penulis berharap masyarakat nelayan kita harus
menjadi fokus utama dalam pembangunan, dan menjadi ikon dalam peningkatan kesejahteraan ekonominya. Demikian halnya
dengan pengelolaan pembangunan perikanan, tentu harus melibatkan semua unsur
teknis dan berkepentingan dalam merencanakan, melaksanakan dan mengawasi program
pengelolaan perikanan.
Berbangga
dengan sumberdaya yang dimiliki, tidak akan mampu memberikan pelayanan yang kongkrit
tanpa sentuhan dari kebijakan pengelolaan yang populis terhadap kepentingan
masyarakat nelayan. Beberapa upaya preventif yang menurut penulis masih objektif
terhadap dinamika pemanfaatan sumberdaya, diantaranya : 1).Penyediaan sarana
dan prasarana sesuai dengan kebutuhan dan keahlian nelayan; penyaluran bantuan
kepada masyarakat nelayan hendaknya memperhatikan aspek keahlian. Contoh: umumnya nelayan Morotai menggunakan alat tangkap Long Line, maka
bantuan yang disediakan harus sesuai dengan kebutuhan dan keahlian nelayan; 2).Pendampingan
dan pelatihan yang intens kepada nelayan; Bukan mengabaikan upaya yang sudah
dilakukan, temuan penulis terkait dengan pengelolaan sistem kelembagaan ekonomi
nelayan masih jauh dari harapan, dan sangat banyak nelayan yang belum
mendapatkan pembinaan-pembinaan tentang tata pengelolaan kelembagaan masyarakat
nelayan; 3).Penyediaan sarana-prasarana sebagai akses penunjang bisnis/ usaha
perikanan nelayan; kesulitan dalam akses pasar bagi nelayan yang jauh dari PPI,
TPI, dan pasar lokal, juga dapat mempengaruhi tingkat pendapatan nelayan karena
tidak ada pilihan lain untuk menjual hasil tangkapan dengan harga dibawah
standar; 4).Membuat produk hukum (PERDA) terkait pengaturan harga pangan
termasuk (ikan); pada musim-musim tertentu masyarakat bahkan kesulitan
mendapatkan ikan, karena stok yang terbatas yang juga berpengaruh pada harga
ikan di pasar; 5).Menghadirkan pengadilan perikanan di Maluku Utara; salah satu
pintu masuk keluar nelayan-nelayan asing maupun andon adalah perairan pulau Morotai, sehingga dapat mempengaruhi
hasil tangkapan nelayan terus menurun, akibat tak mampu bersaing dengan
kapal-kapal besar milik asing. Selain sangat
rentan terhadap aktiftas pencurian ikan, penanganan kasus perikanan seringkali
tidak terpublikasi ke publik.
Untuk
mewujudkan tiga pilar kedaulatan, keberlanjutan dan kesejahteraan, maka model
pengelolaan perikanan sejatinnya harus benar-benar mengintegrasikan
kebijakannya dengan diarahkan pada kepentingan masyarakat nelayan. Salah satu
kebijakan disektor kelautan dan perikanan adalah SKPT (Sentra Kelautan
Perikanan Terpadu), yang diharapkan dapat mengoptimalkan dan mengintegrasikan
rantai bisnis perikanan dan penyediaan infrastruktur sarana dan prasarana yang
berkelanjutan.***