Kamis, 25 Januari 2018

SKPT Morotai dan Kebijakan Pengelolaan Perikanan



SKPT Morotai dan Kebijakan Pengelolaan Perikanan
(Pernah terbit di REPUBLIKA, edisi 18 Januari 2018   08:10 WIB)
Oleh : Kismanto Koroy
Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Pasifik - Morotai; dan
Direktur Pusat Kajian Pesisir dan Laut – Maluku Utara (PKPL-MU)
SKPT (Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu) merupakan salah satu program yang dicanangkan oleh pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan – KKP RI pada tahun 2015 yang termaktub dalam Peraturan Menteri nomor 48/PERMEN-KP/2015 tentang pedoman umum  pembangunan sentra kelautan dan perikanan terpadu di pulau-pulau kecil dan kawasan perbatasan. SKPT Morotai merupakan salah satu dari 12 SKPT di Indonesia yang sudah dibiayai oleh pemerintah pada tahun 2017, dan akan bertambah lagi sebanyak 31 SKPT sampai dengan tahun 2019 berdasarkan Perpres nomor 16 tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia. Secara geografis pulau Morotai berada di bibir pasifik dan berbatasan langsung dengan Negara Republik Palau dan Philipina. Tak hanya sebagai daerah perbatasan, perairan pulau Morotai juga dikenal sebagai wilayah migrasi beberapa jenis ikan Tuna dan ikan bernilai ekonomis lainnya. Pendekatan sumberdaya dan geostrategis wilayah pulau Morotai menjadi dasar ditetapkan sebagai SKPT dan program-program nasional lainnya seperti KEK (Kawasan Ekonomi Khusus), Kawasan Destinasi Wisata Nasional, dan KSN (Kawasan Strategis Nasional).
Berdasarkan dokumen KEPMEN-KP, secara khusus SKPT bertujuan untuk mendorong serta mewujudkan Visi dan  Misi KKP yaitu Kedaulatan, Keberlanjutan, dan Kesejahteraan. Menilik kembali semangat dan upaya besar yang didengungkan oleh KKP, maka patut di acungi jempol. Hal tersebut bukan tanpa alasan, beberapa upaya sangat nyata telah diperlihatkan kepada rakyat Indonesia dengan kebijakannya yaitu “IUU Fishing, penenggelaman kapal asing, melarang alat-alat tangkap yang merusak lingkungan, reformasi/ perbaikan sistem birokrasi dilingkup KKP-RI sampai pada tingkat teknis di daerah-daerah”, serta beberapa kebijakan lainnya yang tidak dapat diuraikan satu per satu.
Kita tentu berbangga dengan terobosan yang dilakukan oleh pemerintah, meskipun belum sepenuhnya dapat menjawab keinginan dan hasrat nelayan tentang kesejahteraan. Penerjemahan kebijakan dan aturan di tingkat teknis acap kali menuai protes, pro-kontra di kalangan akar rumput hingga elit bermunculan bagai menabur pakan di kolam pembudidaya. Secara manusiawi, hal tersebut sudah menjadi rahasia publik dan lumrah untuk dipertontonkan. Beberapa kebijakan yang dianggap tidak pro terhadap kepentingan masyarakat nelayan seperti penyaluran bantuan kapal/alat tangkap yang salah sasaran, kebijakan penarikan kembali bantuan oleh pemerintah karena dianggap tidak sesuai dengan standar operasional prosedur penggunaan barang tersebut, sudah sering kali dijadikan sebagai alasan klasik. Padahal ketika kita kembali untuk menyemangati Visi dan Misi KKP-RI yang juga dikaitkan dengan semangat  Nawacita dan ambisi Presiden untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, maka pentingnya dilakukan penekanan pada pembangunan sarana dan prasarana penunjang serta sistem pengelolaan perikanan yang tidak pilih kasih dan tebang pilih. Selain itu juga SKPT hadir untuk menyediakan seluruh sarana prasarana bisnis perikanan seperti pelabuhan ikan, tempat pelelangan ikan, Coldstroage, tempat perbaikan kapal, penyediaan BBM dan es, karantina untuk ekspor hingga tempat penginapan nelayan.
Secara khusus, penulis menemukan beberapa masalah klasik seperti pada uraian diatas yang menyebabkan pengelolaan perikanan sangat lambat terealisasi. Bersamaan dengan Riset Model Integrasi Ekonomi Dalam Mendukung Percepatan Industrialisasi Perikanan Nasional” yang di lakukan oleh Puslitbang-KP pada akhir tahun 2017 lalu, penulis merangkum beberapa temuan-temuan yang cukup  variasi mulai dari penyaluran bantuan yang salah sasaran dan pilih kasih, pemberian bantuan yang tidak dapat dioperasikan, penarikan kembali bantuan, hingga penjualan kembali bantuan kepada pihak ketiga, serta lemahnya sistem kelembagaan ekonomi nelayan. Mengamati masalah-masalah seperti ini, penulis berpendapat bahwa modelling atau sistem pengelolaan perikanan yang diterjemahkan oleh unsur teknis masih sangat kaku dan belum sepenuhnya ditangguhkan untuk kepentingan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat nelayan.
Permasalahan yang ditemukan dalam pengelolaan perikanan secara terpadu di Maluku Utara, hendaknya tidak cukup pula pada penyaluran bantuan atau secara materil, akan tetapi fokus masalah juga harus memperhatikan sistem bisnis perikanan yang erat kaitannya dengan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Monopoli bisnis dan penguasaan pasar secara sepihak sering juga dipertontonkan. Kasus bisnis perikanan yang juga sering ditemukan adalah melonjaknya harga ikan hingga tak menentu pada musim-musim tertentu, terbatasnya stok ikan di PPI, TPI, dan pasar-pasar lokal,   padahal disisi lain kebijakan pemerintah dengan kampanye-nya “Gemar Makan Ikan”. Mestinya pembangunan sarana dan prasarana juga mempertimbangkan sistem bisnis perikanan, sehingga masyarakat tidak lagi dibuat “galau”.
Mencermati hal seperti demikian di atas, pertanyaannya “ Pantaskah kita menyematkan diri sebagai kawasan sentra perikanan terpadu atau lumbung ikan nasional.? ”, Cukupkah kita melakukan event-event mancing mania, lantas mengabaikan prinsip pemberdayaan dalam mendukung aktifitas ekonomi masyarakat nelayan kita.? Penulis berharap masyarakat nelayan kita harus menjadi fokus utama dalam pembangunan, dan menjadi ikon dalam peningkatan kesejahteraan ekonominya. Demikian halnya dengan pengelolaan pembangunan perikanan, tentu harus melibatkan semua unsur teknis dan berkepentingan dalam merencanakan, melaksanakan dan mengawasi program pengelolaan perikanan.
Berbangga dengan sumberdaya yang dimiliki, tidak akan mampu memberikan pelayanan yang kongkrit tanpa sentuhan dari kebijakan pengelolaan yang populis terhadap kepentingan masyarakat nelayan. Beberapa upaya preventif yang menurut penulis masih objektif terhadap dinamika pemanfaatan sumberdaya, diantaranya : 1).Penyediaan sarana dan prasarana sesuai dengan kebutuhan dan keahlian nelayan; penyaluran bantuan kepada masyarakat nelayan hendaknya memperhatikan aspek keahlian. Contoh: umumnya nelayan Morotai menggunakan alat tangkap Long Line, maka bantuan yang disediakan harus sesuai dengan kebutuhan dan keahlian nelayan; 2).Pendampingan dan pelatihan yang intens kepada nelayan; Bukan mengabaikan upaya yang sudah dilakukan, temuan penulis terkait dengan pengelolaan sistem kelembagaan ekonomi nelayan masih jauh dari harapan, dan sangat banyak nelayan yang belum mendapatkan pembinaan-pembinaan tentang tata pengelolaan kelembagaan masyarakat nelayan; 3).Penyediaan sarana-prasarana sebagai akses penunjang bisnis/ usaha perikanan nelayan; kesulitan dalam akses pasar bagi nelayan yang jauh dari PPI, TPI, dan pasar lokal, juga dapat mempengaruhi tingkat pendapatan nelayan karena tidak ada pilihan lain untuk menjual hasil tangkapan dengan harga dibawah standar; 4).Membuat produk hukum (PERDA) terkait pengaturan harga pangan termasuk (ikan); pada musim-musim tertentu masyarakat bahkan kesulitan mendapatkan ikan, karena stok yang terbatas yang juga berpengaruh pada harga ikan di pasar; 5).Menghadirkan pengadilan perikanan di Maluku Utara; salah satu pintu masuk keluar nelayan-nelayan asing maupun andon adalah perairan pulau Morotai, sehingga dapat mempengaruhi hasil tangkapan nelayan terus menurun, akibat tak mampu bersaing dengan kapal-kapal besar milik asing.  Selain sangat rentan terhadap aktiftas pencurian ikan, penanganan kasus perikanan seringkali tidak terpublikasi ke publik.
Untuk mewujudkan tiga pilar kedaulatan, keberlanjutan dan kesejahteraan, maka model pengelolaan perikanan sejatinnya harus benar-benar mengintegrasikan kebijakannya dengan diarahkan pada kepentingan masyarakat nelayan. Salah satu kebijakan disektor kelautan dan perikanan adalah SKPT (Sentra Kelautan Perikanan Terpadu), yang diharapkan dapat mengoptimalkan dan mengintegrasikan rantai bisnis perikanan dan penyediaan infrastruktur sarana dan prasarana yang berkelanjutan.***  

Selasa, 24 Mei 2016


(CAHAYA DI TANAH DAMULI : Karya Anak Fagogoru)

Oleh :
Kismanto Koroy

Kronologis :
Berawal dari usaha perbengkelan motor dan usaha dagang sembako (sembilan bahan pokok), di Desa Peniti Kecamatan Patani Timur, Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara. Lelaki bernama lengkap Asrif Nasir (34),memulai ide gilanya dengan merakit sebuah mesin penerangan menggunakan dynamo berkapasitas 3000 wattdari sisa-sisa bahan rongsokan.Lelaki yang biasa disapa dengan nama “Ifo” terinspirasi untuk melakukan ide gila tersebutdengan alasan sederhana.
Pada suatu malam, ketika sedang keluar dengan anak keduanya (Rehan) di kampung tetangga (Masure) untuk bersilaturahmi di keluarganya. Selepas dari silaturahmi dengan keluarga, Asrif pamitan untuk kembali ke-rumahnya. Saat perjalanan pulang ke-rumah, tiba-tiba lampu PLN padam. Spontan ketika jalanan sudah tidak ada cahaya untuk menerangi perjalanan pulang mereka, Ifo langsung mengatakan kepada anaknya “tong istrahat dulu, lampu masih mati kon” untuk berhenti sejenak. Persis dihadapan mereka berdiri kokoh sebuah bangunan Mesjid (tempat ibadah), juga terlihat gelap tanpa ada cahaya sedikitpun. Waktu berlalu, tak terasa ± 2 (dua) jam dia menunggu. Dalam benaknya bertanya-tanya, kenapa tidak ada satu orangpun yang bisa menaikkan lampu pelita (loga-loga) kedalam mesjid tersebut.? Padahal disekitar bangunan mesjid sudah terlihat cahaya-cahaya pelita dan lilin yang menerangi rumah-rumah warga. Tak habis pikir, dengan sedikit rasa kesal terlihat diwajahnya, Asrif memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pulang ke rumah.

Sesampainya mereka dirumah, waktu sudah menunjukan pukul. 02.00 WIT, Ifo masih terus berpikir, kenapa sampai sekarang di Desa ini kondisi lampu PLN masih belum normal, padahal beberapa tahun yang lalu Desa-nya baru resmi menggunakan lampu penerangan dari pemerintahalias PLN. Sambil berlalu-lalang di dalam rumah, sesekali Ifo melihat barang-barang rongsokan yang rencananya akan dijual kepembeli besi tua.Malam itu benar-benar sulit bagi dirinya, sepintas ada khayalan“kalau saya jadi Bupati, saya akan pasang lampu siang-malam di kampung ini”namun tersadar dari khayalan itu dia kemudian berkatahaltersebut tak mungkin terjadi pada dirinya, apalagi hanya lulusan SD (Sekolah Dasar) seperti saya ini. Lantas sumbangsih apa yang harus dipersembahkan untuk kampung ini.? Kembali ke tempat barang-barang rongsokan, tiba-tiba ada ide gila yang muncul dipikirannya untuk merakit sebuah mesin penerangan yang disebut oleh-nya “listrik tenaga air” (PLTA)dengan menggunakan bahan-bahan rongsokan yang dia miliki.
Singkat cerita sebuah karya anak Fagogoru, yang dilatar belakangi oleh fakta sosial di negeri ini, merupakan bukti nyata yang mesti diberi apresiasi.Karya yang dianggap oleh sebagian orang atas ide yang dilakukan oleh Ifo, mengatakan bahwa apa yang dibuatnya sangat tidak mungkin. Sikap tegar dan optimis sembari tetap berusaha dan berdo’a atas apa yang dilakukannya, tidaklah surut meskipun harus mengorbankan waktu, tenaga, pikiran bahkan uang dari hasil jualan sembako dan usaha perbengkelan yang dia geluti. Bermodalkan barang-barang rongsokan seperti; drum, felek motor, dynamo, besi bekas dan pipa yang dipinjam dari tetangga rumahnya, Ifo memulai untuk merakit mesin tenaga air (PLTA). Waktu berjalan, setiap harinya Ifo disibukkan dengan aktifitasnya merancang mesin tersebut. Tak terasa, waktu yang dihabiskan sudah 1 (satu) tahun 15 hari, mulai dari perencanaan sampai finish. Tepatnya di tanggal 4 Februari 2016, pemasangan alat sekaligus uji coba mesin dilakukan, dibantu oleh sebagian masyarakat yang merasa penasaran atas karya yang dilakukan oleh Asrif. Rasa penasaran masyarakat yang semakin memuncakatas apa yang dilakukan olehnya, membuat Ifo sedikit khawatir meskipun dia juga lebih penasaran. Waktu pemasangan telah selesai, uji coba-pun dimulai, hasilnya ketika kincir angin yang dirakit sudah berputar setelah dialiri air dengan tekanan cukup deras, dan hasilnya balon lampu yang dipasang di bawah pepohonan langsung menyala.
Alat Penerangan dan Komitmen Pemerintah
Tanggal 5 - 6 April 2016, sebuah momen penting bagi Pemerintah Daerah bahkan sebagian besar masyarakat yang ada di Maluku Utara, karena telah kedatangan tamu Negara (Presiden RI) Bapak. Joko Widodo dan beberapa Menteri-nya. Dalam kunjungan kerja tersebut dengan agenda peresmian pembangunan infrastruktur seperti jembatan pelabuhan dan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) di Kabupaten Pulau Morotai dan Kabupaten Halmahera Utara. Dalam sambutannya, Presiden RI Bapak. Joko Widodo mengatakan bahwa pemerintah akan berkomitmen untuk membangun fasilitas-fasilitas umum diwilayah timur Indonesia terutama alat penerangan dan jembatan pelabuhan, sebagaimana yang diberitakan beberapa media cetak dan eletronik.
            Pengembanganpembangkit listrik dengan memanfaatkan sumber daya alam sebagai energi terbarukan, merupakan langkah preventif pemerintah pusat yang mesti diapresiasi. Sadar akan pentingnyakomitmen pemerintah pusat dalam capaian target menuju “Indonesia Terang”, maka langkah tegas yang patut di teladani bagi setiap kepala-kepala daerah, baik ditingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/ kota untuk bersinergi.Kapasitas sumber daya alam yang dimiliki Maluku Utara terhitung cukup mendukungprogram pemerintah, mulai dari PLTS/ PLTU/ dan PLTA. Pembangunan infrastruktur di bidang penerangan sudah dilakukan dibeberapa daerah di-Indonesia termasuk Maluku Utara. Beberapa diantaranya yang dibangun di Kabupaten Pulau Morotai dan Kabupaten Halmahera Utara.Disisi lain, ketika komitmen pemerintah yang semakin menggiliat, ada pemandangan tak enak terlihat dari wajah masyarakat se-Kecamatan Patani atas kondisi lampu penerangan yang beroperasi tidak normal. (baca kronologis).Kondisi seperti ini terjadi di beberapa Desa di Kabupaten Halmahera Tengah, bahkan di beberapa kabupaten/ kota di wilayah Maluku Utara.

Sejarah Kepemilikan dan Penamaan Pulau Sayafi dan Liwo
Oleh :
Kismanto Koroy

Tulisan ini merupakan beberapa bagian dari penelitian Tesis (S2) penulis yang membahas tentang pengelolaan Ekowisata Bahari di pulau Sayafi dan Liwo. Karena keterbatasan informan, sehingga isi tulisan ini belum secara detail membahas tentang sejarah kedua pulau tersebut. Meng-Upload tulisan ini hanya sekedar membagi informasi dan pengetahuan kepada pembaca, terutama teman-teman generasi Gamrange, terlebih juga sedikit memprovokasi teman-teman yang menggeluti kajian-kajian tentang sejarah (history). Menyadari hal tersebut, untuk tetap memberikan informasi pada generasi-generasi penerus, penting kiranya untuk terus menggali informasi, mengkaji dan menuliskan dalam bentuk buku Sejarah Gamrange atau apapun namanya, diperlukan sebuah kajian yang detail dari para pakar dan sejarawan sehingga tidak ada dusta diantara kita (pembelokan sejarah).***
Sejarah Kepemilikan. Bermula dari sejarah asal-usul kepemilikan pulau Sayafi dan Liwo secara sah menurut hukum adat masyarakat Patani. Sebelum pengesahan kepemilikan pulau Sayafi dan Liwo, awal mulanya telah terjadi sengketa kepemilikan pulau Sayafi dan Liwo, antara masyarakat Desa Bicoli, Gemia dan masyarakat Tepeleo.Karena telah terjadi sengketa dan klaim kepemilikian pulau, maka lahirlah musyawarah atau rekonsiliasi dengan satu kesepakatan untuk menentukan moment penting yang di namakan “Falipes” dalam bahasa lokal masyarakat Patani yang artinya perebutan. Isi kesepakatan dalam moment “Falipes” yaitu siapa yang duluan tiba dan mengetahui nama tumbuh-tumbuhan (SDA) di kedua pulau tersebut dan langsung mengetuk Gong, maka mereka akan berhak memiliki kedua pulau tersebut. Setelah ditetapkan kesepakatan tersebut, ivent perebutan “Falipes” pun dilakukan.
Berlangsungnya ivent “Falipes”, untuk menentukan hak kepemilikan pulau, dalam perjalanan menuju pulau Sayafi dan Liwo, ternyatayang datang lebih awal di kedua pulau tersebut adalah masyarakat dari Desa Bicoli dan langsung menujuke dusun Botolo dan Biawsowo, menyusul masyarakat dari Desa Gemia,mereka langsung menuju ke dusun Nyinyen Wolot, sementara masyarakat dari Desa Tepeleo yang datang paling terakhir langsung menuju ke dusun Piyasili.
Masyarakat dari Desa Bicoli datang lebih awal, karena secara geografis Desa Bicoli memiliki jarak lebih dekat menuju ke pulau Sayafi dan Liwo. Sedangkan masyarakat dari Desa Gemia dan Desa Tepeleo memiliki jarak tempuh sama, namun yang datang kedua setelah Bicoli adalah masyarakat dari Desa Gemia. Setibanya mereka di pulau Sayafi dan Liwo, nampaknya potensi sumberdaya alam yang melimpah, membuat masyarakat dari Desa Bicoli dan Desa Gemia terjebak dengan potensi alam yang ada di kedua pulau tersebut, sehinnga mereka kemudian mengabaikan kesepakatan dalam ivent “Falipes” dan tetap berada di pesisir pantai pulau Sayafi dan Liwo. Sementara masyarakat dari Desa Tepeleo yang datang paling terakhir langsung menuju ke hutan pulau Sayafi dan langsung mengidentifikasi jenis-jenis pohon (SDA). Setelah sesudah mengidentifikasi nama-nama pohon di hutan, mereka langsung mengetuk Gong, sebagai tanda mereka telah berada di pulau Sayafi dan Liwo. Berdasarkan kesepakatan tersebut diatas, maka hak asal-usul kepemilikan secara sah menurut hukum adat, pulau Sayafi dan Liwo menjadi hak milik masyarakat Desa Tepeleo.
Penamaan. Secara etimologi kata Sayafi berasal dari dua suku kata yaitu “Sa” dan “Ip”. Kata “Sa” dalam bahasa lokal masyarakat Patani artinya karang dan “Ip” artinya tumpukan sampah yang berserakan dan terbawa oleh arus air laut. Jadi tumpukan-tumpukan sampah yang terbawa oleh arus air laut ke permukaan karang yang lama-kelamaan kemudian terbentuklah pulau-pulau kecil. Sedangkan kata Liwo ditinjau dari aspek penamaan, juga berasal dari bahasa lokal masyarakat Patani yang terdapat dalam dua suku kata yaitu “Li” artinya bunyi dan “Wo” artinya akar. (Bengen et al. 2012) mengatakan bahwa tipe pulau yang dimaksud seperti pada pengertian secara etimologi di atas adalah termasuk dalam tipe pulau karang timbul (Raised Coral Island)pulau yang terbentuk oleh terumbu karang yang terangkat ke atas permukaan laut, karena adanya gerakan ke atas (uplift) dan gerakan ke bawah (subsidence) dari dasar laut akibat proses geologi. Pada saatdasar laut berada dekat permukaan (kurang dari 40 m), terumbu karang mempunyai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang di dasar laut yang naik tersebut. Setelah berada di atas permukaan air laut, karang akan mati dan menyisakanterumbu. Jika proses ini berlangsung terus, maka akanter bentuk pulau karang timbul. Pada umumnya karang yang timbul ke permukaan laut berbentuk teras-teras seperti sawah dipegunungan. Proses ini dapat terjadi pada pulau-pulau vulkanik maupun non-vulkanik.
Penggabungan dua suku kata “Sa” dan “Ip”, menjadi sebutan nama pulau dalam bahasa lokal masyarakat Patani yaitu “Sayif”. Nama “Sayif” bahkan lebih dikenal oleh masyarakat Bicoli dan Buli di Halmahera Timur dan di Papua khususnya suku Has dan Maga Kecamatan Penginabuan. Sedangkan nama Liwo “Li” dan “Wo” lebih ditinjau pada aspek penamaan yaitu “Li” artinya bunyi dan “Wo” artinya akar, sehingga sebutan nama pulau lebih dikenal dengan nama Liwo. Secara nasional nama kedua pulau tersebut adalah “Sayafi dan Liwo”.***

(Hasil wawancara; Bapak. Basir Hi.Salasa (Aparat Pemerintah Desa Tepeleo Batu Dua), dan Bapak. Julfian Hi.Usman (Toko Masyarakat Peduli Pulau Sayafi dan Liwo).

Selasa, 21 April 2015

Perikanan Maluku Utara dan Ambisi Nasional



Perikanan Maluku Utara dan Ambisi Nasional

Oleh : Kismanto Koroy

 Pernah terbit di Malut Post : Edisi 18 Maret 2015


Sumber gambar : http://www.tempo.co
Meretas asah diatas samudera dari laut kita membangun. Sebuah catatan kertas kusut penulis yang berisi motto sederhana diatas, memang sangat menginspirasi penulis dikala menjadi bagian dari generasi bahari ketika masih berada di bangku perkuliahan Strata Satu (S1) di salah satu Perguruan Tinggi ternama di Maluku Utara. Penulis juga begitu sangat yakin bahwa pada waktunya paradigma pembangunan nasional bangsa ini, akan mengalami pergeseran dari land based development menjadi ocean-based development. Bukan tidak mungkin, sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia, bangsa Indonesia memiliki potensi sumberdaya disektor kelautan dan perikanan yang tergolong masih banyak menyimpan kekayaan yang belum dimanfaatkan secara optimal.
Pembangunan sektor perikanan dan kelautan melalui rencana pembangunan nasional, menempatkan kawasan timur Indonesia sebagai sektor unggulan di bidang kelautan dan perikanan nasional. Maluku Utara sebagai salah satu kawasan unggulan di bidang kelautan dan perikanan yang termasuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 715, memiliki potensi lestari Maksimum Sustainable Yield (MSY) sebesar 595,6 dan sampai pada tahun 2010 produksi perikanan tangkap sudah mencapai 214,3 ton (Bappenas 2014). Sebagai Provinsi yang terletak timur Indonesia, Maluku Utara memiliki luas wilayah mencapai 140.255,32 km². Sebagian besar merupakan wilayah perairan laut, yaitu seluas 106.977,32 km² (76,27%). Sisanya seluas 33.278 km² (23,73%) adalah daratan. Kondisi ini menggambarkan wilayah Provinsi Maluku Utara merupakan salah satu kawasan strategis nasional di kawasan timur Indonesia yang dapat dikembangkan sebagai wilayah pengelolaan perikanan nasional. Tidak hanya itu, Maluku Utara juga termasuk sebagai Provinsi di Indonesia yang memiliki jumlah pulau-pulau kecil terbanyak setelah Kepulauan Riau dan Papua Barat, dengan jumlah pulau sebanyak 1.474 buah pulau.
Terlepas dari wacana potensi yang menjadi sektor unggulan masyarakat Maluku Utara, muncul semangat baru bagi Pemerintah Daerah untuk menjadikan Maluku Utara sebagai kawasan Lumbung Ikan Nasional (LIN). Sebelumnya, baru-baru ini Pemerintah Pusat sudah menetapkan Provinsi Maluku sebagai kawasan Lumbung Ikan Nasional. Tentu sebuah upaya positif yang mesti diberikan apresiasi, guna menggenjot perekonomian Daerah dan tentunnya perekonomian masyarakat nelayan yang selama ini hidup dibawah garis kemiskinan.. (katanya). Hal ini berdasarkan visi pengelolaan perikanan di WPPNRI 715 mewujudkan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat perikanan.
Sungguh ironis, ketika potensi sumberdaya perikanan dan kelautan Maluku Utara tidak dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan baik. Tidak cukup berbangga dengan potensi sumberdaya yang kita miliki, pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dilakukan dengan baik apabila secara teknis kesiapan pemerintah daerah harus benar-benar matang, baik itu infrastruktur pendukung, seperti kapal penangkapan/alat tangkap yang memadai, pelabuhan perikanan, data perikanan daerah, serta memberantas kasus illegal fishing di daerah ini harus di realisasikan. Pertanyaanya, sudah kita melakukan tanggung jawab ini..?? Bangga dengan potensi perikanan yang kita miliki memang iya.. tapi menjadi Lumbung Ikan Nasional, apakah kita sudah siap..?
Beberapa gebrakan yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, terkait dengan sumberdaya perikanan dan kelautan nasional tentu merupakan sebuah upaya positif yang mestinya direspon oleh pemerintah daerah. Pemberantasan kasus illegal fishing oleh nelayan-nelayan asing, merupakan kebijakan pemerintah pusat melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, adalah langkah yang cukup berani dalam sejarah pemberantasan kasus illegal fishing, guna penyelamatan sumberdaya perikanan secara nasional.
Kebijakan pemerintah daerah untuk mendorong Maluku Utara sebagai Lumbung Ikan Nasional (LIN) juga tidak harus di pandang sebelah mata. Pada kepentingan lain terkait dengan pengembangan sektor kelautan dan perikanan, tentu membutuhkan keterlibatan stakeholder yang berkompeten, baik dari kalangan Akademisi, LSM maupun lembaga lain yang berkepentingan pada sektor ini. Memutuskan mata rantai stakeholder yang lain sama halnya dengan mengundang kejahatan untuk menciptakan kemiskinan yang berkepanjangan, maka kita tak ubahnya seperti “perompak” yang menghargai momentum demi keuntungan se-saat.   
Pada pelaksanaannya, dalam penyusunan rencana pengelolaan perikanan dengan mengacu pada definisi - Ecosystem Approach of Fisheries Management (EAFM) yang dibangun oleh FAO (2003), maka pendekatan yang digunakan adalah menyeimbangkan antara tujuan sosial ekonomi dalam pengelolaan perikanan (kesejahteraan nelayan, keadilan pemanfaatan sumberdaya ikan, dan lain-lain) dengan mempertimbangkan ilmu pengetahuan dan ketidakpastian tentang komponen biotik, abiotik, manusia dan interaksinya dalam ekosistem perairan melalui sebuah pengelolaan perikanan yang terpadu, komprehensif dan berkelanjutan.
Menjadi lumbung ikan nasional adalah ambisi di sektor kelautan dan perikanan demi kepentingan ekonomi daerah. Lantas apa implikasi sosial-ekonomi bagi masyarakat perikanan kita..? mengacu pada UUD 1945, maka pembangunan yang dilakukan adalah seutuhnya demi kepentingan masyarakat dan untuk kesejahteraan masyarakat. Saatnya perlahan kita menghilangkan stigma dan maskot yang selama ini melekat pada nelayan yaitu “Kemiskinan” ini adalah nazar yang harus dibayar. Penghapusan dosa dengan menerapkan kebijakan yang berpihak pada masyarakat adalah keputusan yang tepat dan mesti harus di kedepankan. Oleh sebab itu, upaya menciptakan terobosan baru dalam pembangunan di sektor kelautan dan perikanan sebagai unggulan kompetetif (competitive adventage), (Porter, 1998) menyebutkan perlu membutuhkan paradigma yang bervisi kemaritiman dan sistem manajemen yang komparatif melalui penerapan inovasi IPTEK dan manajemen yang profesional.
Untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut bukan tanpa proses, berbagai upaya tentu harus dilakukan diantaranya ; 1). Melakukan riset ilmiah yang berbasis pada ecological yang dapat menjamin kelestarian sumberdaya perikanan dan kelautan (data perikanan), 2). Penyediaan infrastruktur pendukung yang dapat menunjang kegiatan nelayan, 3). Penyediaan pasar yang memadai, guna menggenjot perekonomian masyarakat perikanan, daerah maupun pemerintah pusat, 4). Membangun sinergitas antar stakeholder yang berkepentingan dalam sektor kelautan dan perikanan, dan 5). Memberantas kasus illegal fishing serta menghadirkan pengadilan perikanan di Maluku Utara, guna menyikapi mafia-mafia perikanan.
Adalah penting untuk merelealisasikan pengelolaan semberdaya perikanan dan kelautan yang berkelanjutan. Keterlambatan atau kegagalan melakukan hal yang penting ini akan membawa konsekuensi negatif di masa depan. Pengelolaan perikanan, sesederhana apapun bentuknya, adalah jauh lebih baik dari kondisi tanpa pengelolaan sama sekali (Nikijuluw P.H, 2005).***

SKPT Morotai dan Kebijakan Pengelolaan Perikanan

SKPT Morotai dan Kebijakan Pengelolaan Perikanan (Pernah terbit di REPUBLIKA, edisi 18 Januari 2018   08:10 WIB ) Oleh : Kismanto...