“
FAGOGORU ”
Sebuah Refleksi Untuk Masyarakat Gam Range
Oleh :
Kismanto Koroy
Kamerad Gerakan Mahasiswa Pemerhati Sosial (GAMHAS)
Maluku Utara
Jangan pernah lupakan sejarah,
Sebab siapa yang lupakan sejarah,
Maka dia akan digiling, digilas oleh sejarah itu
sendiri
“Bung Karno”
Tabea....
Sebelum mengulas lebih jauh tulisan ini,
penulis memohon ampun kepada moyang-moyang para pendahulu yang dengan gigih dan
berani telah mempertahankan tanah negeri ini sampai kembali pada pangkuannya,
bukan menggurui para petuah-petuah yang ada ditanah fagogoru, tapi tulisan ini hanyalah sebuah ekspresi kegelisahan
penulis dalam mencermati kondisi sosial masyarakat yang ada di tanah fagogoru.
Sebuah fakta menunjukkan saat ini
Indonesia tengah diramaikan pada proses di mana sedang disuguhi cicipan menu
yang namanya “demokrasi”. Demokrasi yang
sedang dikunyah-kunyah baik ditingkatan pusat, propinsi bahkan kabupaten/kota
dengan akan dilaksanakannya pilpres, pilgub dan pilkada di seantero wilayah
Nusantara Indonesia. Sebuah upaya yang dilakukan untuk membangun nilai
demokrasi politik yang dapat menjawab keinginan masyarakat, tentunya menjadi
sebuah tanggung jawab rell bagi pelaku-pelaku politik dalam menjalakan proses
demokrasi dengan sebaiknya maka harus tetap menjaga serta menjunjung tinggi
nilai-nilai kebudayaan yang ada di setiap daerah/wilayah sehingga masyarakatnya
tidak lagi dibuat bingung. Memang benar apa yang disampaikan oleh Antoni Nurdin
catatan editor (Konsulidasi
Demokrasi, Desentralisasi Dan Kearifan Lokal) bahwa akhir-akhir ini elit
politik dalam praktek perebutan kekuasaan cenderung mengabaikan aspek demokratisasi, nilai-nilai
kebudayaan, dan tetap membenarkan cara-cara kotor dengan selalu bersandarkan
pada slogan demokrasi, itulah yang
sering menjadi suguhan para politisi dalam menggapai keinginan politik mereka. Berbeda
dengan (F. Magnis suseno, 1992) menjelaskan dalam kondisi perpolitikan
Indonesia saat ini untuk mencari seorang pemimpin yang benar-benar bersih,
jujur, bermoral, humanis ibarat mencari perawan di sarang pelacur.
Bukan hal yang tabu lagi bagi masyarakat
Maluku Utara memang ranah politik dewasa ini, banyak orang memposisikan dirinya
sebagai pelaku-pelaku politik yang tidak terlepas berbicara soal kepentingan
rakyat, mengubar janji-janji politik sebagai jualan dalam meraih kekuasaan
serta mempertahankan karir dalam posisi-posisi tertentu, sehingga mau tidak mau
harus bekerja keras untuk memenangkan kandidatnya, kalaupun tidak maka posisi
ini akan tergeser dan akan diduduki oleh kandidat yang menang, sekalipun harus
memandang sebelah mata antara anak dengan orang tua, saudara-saudarinya,
tetangganya, sahabat serta kerabatnya tidak lagi peduli dengan kondisi sosial
seperti ini, persetan dengan mereka semua........ yang jelas kandidatku yang
paling kuat dan harus menang. Melihat kondisi politik seperti ini akankah
masyarakat gam range masih tetap
bertahan dan bercumbu dengan ketidaknyamanan dan hidup di bawah tekanan yang
pada akhirnya hanya menguntungkan mereka-mereka yang berkepentingan.
Terlepas dari gambaran di atas, merunut kembali
akan sejarah kelam bahwa masyarakat Fagogoru lebih dikenal dengan
orang-orangnya yang memiliki sopan santun, ngaku rasai, dan budi bahasan. Adalah
mustahil ketika kembali melihat sejarah kelam ini, anak negeri yang hidup dan
besar di tanah fagogoru harus
memandang sebelah mata saudara-saudaranya (farimon
ret faften) karena kepentingan sekelompok elite politik yang ada di tanahmu
hanya karena bicara soal kepentingannya tanpa memupuk rasa persatuan dan
kesatuan (fai sayang ret falciling) yang
telah dirawat dan dipupuk oleh para pendahulu kita.
Manusia secara sadar
menentukan kriteria dan indikator tujuan serta strategi dalam mencapai tujuan
hidupnya. Penentuan tersebut pada awalnya merupakan peran individu, akan tetapi
manusia adalah makhluk sosial (Zoon Polothycon) yang perlu dan harus
berinteraksi dengan individu lain yang mau tidak mau harus berada dalam suatu
sistem interakasi individu yang lebih kompleks, akan tetapi kondisi ini
berbanding terbalik dan jauh dari harapan semua telah berubah tidak seperti
yang dahulu lagi, akankah kita telah lupa dengan sejarah..?
Angin reformasi telah kita
lalui bersama namun
praktek demokrasi masih berjuba kepentingan politik sekelompok elite, masyarakat
yang heterogen dan fragmentatif, disimpang jalang oleh ketidakseimbangan
mendalam, didesain oleh mereka-mereka yang noda itu sampai harus terjadi
perpecahan etnis, kelas, gender, dan wilayah. Isu ini tidaklah benar-benar
imoralitas eksklusif sosial, masyarakatnya di lemahkan dengan bunga rampai
politik alias janji-janji politik
yang selalu abstrak. Memang tak bisa dipungkiri hidup di zaman yang edan ini
semua hal harus dirasuki kepentingan politik. Tidakkah saat ini elit-elit
politik harus memberikan contoh teladan kepada rakyat dengan rasa kasih sayang
(faisayang) serta memberikan cinta
kepada sesama, dengan selalu melakukan silaturahmi yang dapat menumbuh
kembangkan rasa persaudaraan, membangun komunikasi politik yang santun dengan
tidak merusak tali silaturahmi antar sesama masyarakat, bukankah seorang
pemimpin harus menjadi panutan dan inspirasi bagi rakyatnya, akankah itu sangat
indah....? jangan lagi menambah beban ini kepada rakyat yang hidup dalam
kesehariannya dengan ketidaknyamanan, hanya karena kepentingan elit-elit
politik yang juga tidak berada pada satu kesamaan kepentingan politiknya.
Fagogoru atau (baku
panggil/baku bilang) mungkin hanya sebuah kata yang indah dan enak didengar,
ataukah hanya semboyang yang dijadikan simbol..? atau mungkinkah hanya
dijadikan topeng dalam berpolitik..? sungguh disayangkan ketika esensi dan makna
fagogoru tidak lagi dipraktekkan
dalam kehidupan sehari-hari. Mencermati arti kata fagogoru tidaklah cukup kalau hanya dijadikan semboyang, artinya
sudah saatnya masyarakat gam range harus
mengembalikan citra dan esensi fagogoru
sebagai bentuk perlawanan kepada elit-elit politik yang telah mengahancurkan
nilai-nilai kebudayaan yang telah diwariskan oleh moyang-moyang terdahulu. Tidak
ada alasan untuk kita masyarakat gam
range untuk memutuskan semua yang
sudah menjadi darah daging, tanggalkan semua yang menjadi simbol-simbol
penghancuran, kembalikan masa lalu yang indah itu. Ketika masa lalu telah
kehilangan cengkramannya, atau menjadi satu diantara sekian ‘alasan’ untuk
melakukan sesuatu, maka kebiasaan-kebiasaan yang sudah mapan hanyalah berfungsi
sebagai panduan eksen yang bersifat terbatas.
Negara Indonesia bukan satu negara untuk
satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya.
Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat
satu (Yudi Latif, 2011). Terlepas dari itu cita-cita persaudaraan dalam
kesederajatan kewargaan masyarakat gam
range memiliki akar yang kuat dalam pergaulan hidup keseharian dengan
budaya babari dalam mengerjakan suatu
pekerjan secara bersama-sama. Sejatinya cita-cita para pendiri bangsa ini
menginginkan rakyat dan anak cucu mereka tidak lagi harus hidup dengan
penekanan-penekanan yang justru muncul dikalangan para penguasa negeri ini.
Idealnya seorang pemimpin mestinya harus menjadi panutan (modeling) bagi seluruh rakyat dalam mengemban amanah yang
telah diberikan. Bagaimana seorang pemimpin harus menjaga tutur kata, sikap,
perilaku dan keputusan-keputusan yang diambilnya, sejauh mana dia melakukan apa
yang dikatakannya, dengan beberapa pendekatan yang harus di miliki seorang
pemimpin adalah sifat-sifat dasar kepemimpinan yang oleh (Waren Bennis) menyebutkan
sifat dasar kepemimpinan itu antara lain visioner, berkemampuan kuat,
integritas, amanah, rasa ingin tahu dan berani.
Dalam fase ini masyarakat gam range telah diperhadapkan dengan perhelatan
momentum pemilihan kepala daerah (pilkada) dalam hal ini biasa disebut “pesta rakyat” artinya pestanya seluruh
rakyat yang ada di kabupaten Halmahera Tengah dalam menentukan seorang pemimpin
yang dapat membawa amanah dan tanggung jawab yang telah diberikan dengan
harapan bisa berbuat yang terbaik bagi seluruh rakyat. Pada posisi ini penulis
lebih memposisikan diri sebagai anak negeri yang gelisah dengan kondisi sosial
yang ada di tanah fagogoru. Untuk mengembalikan semangat dan rasa persatuan dan
kesatuan serta nilai-nilai fagogoru, dengan menentukan seorang pemimipin
kedepan, penulis masih tetap percaya
kepada seluruh masyarakat tentang apa yang telah dipikirkan adalah yang terbaik
untuk negeri fagogoru.
Mengakhiri tulisan ini penulis mengajak
kembali kepada seluruh masyarakat gam
range dengan yel-yel atau biasa disebut kabata Fagogoru, Bati yami jato- Bati yami jato (sudara torang so ada- Sudara torang so ada), fasadia re takalar to (persiapan sudah).
Sudah saatnya masyarakat gam range bersatu
dalam satu kepentingan dan selalu damai meskipun beda pilihan dengan tetap
mempertahankan nilai-nilai kebudayaan fagogoru.