POTRET PERIKANAN MALUKU UTARA : DARI SAIL, TUNA, SAMPAI
WISATA BAHARI
(Sekelumit Harapan Anak-Anak Pulau)
1. Kismanto Koroy, 2. Ibrahim Asnawi, 3.
Rajif Duchlun *
Lembaga Kelautan Perikanan (LKP) Universitas Khairun Ternate
Tulisan ; Musyawarah Wilayah
Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia
(HIMAPIKANI- Wilayah VII), 2012
Sebagai
Archipelagic state (Negara Kepulauan) Indonesia pun di tuntut
untuk dapat mengakselarasi pembangunan secara sustanible, menilik kondisi geografis dan geostrategis sumberdaya
alam yang dimiliki oleh perairan Indonesia ternyata memiliki daya dukung
lingkungan (carryng capacity) serta
jasa-jasa lingkungan yang belum di eksplorasi secara masiv.
Issue potensi perikanan merupakan glamor sekaligus citera
bagi pembangunan Indonesia khususnya di wilayah timur. Hal ini di tandai dengan
adanya berbagai konsepsi yang di sajikan di hadapan khalayak luas. Betapa
tidak, premoar pembangunan yang berbasis kepulauan kini gencar-gencarnya di wacanakan
pemerintah dalam memposisikan wilayah timur sebagai garasi perekonomian dunia. Akan
tetapi, bagi kalangan akademisi maupun aktivis lebih memilih pada posisi sarana
solutif dalam melihat issue tersebut. Hal ini bisa di lihat dengan masih
merebaknya masalah perikanan dan kelautan yang melilit kondisi pembangunan. Lihat
saja yang kini menimpa bumi Maluku Utara.
Secara geografis, Maluku Utara merupakan wilayah kepulauan dengan jumlah pulau kurang lebih
805 pulau, dengan luas wilayah mencapai ± 140.225,36 km2, yang
terdiri dari 78 % lautan dan 22 % daratan, letak geografisnya antara 30
LU dan 30 LS dan 1240-1290 Bujur Timur dan
memiliki panjang garis pantai (luasnya ± 18.000 km2). Maka dengan posisi wilayah tersebut, tentunya memiliki
sekelumit deskripsi yang pada dasarnya bisa di manfaatkan dengan
sebaik-baiknya. Apalagi, pada sisi SDM bisa di dorong guna menjadi icon
pemanfaatan dalam menegasikan angka-angka pembangunan itu sendiri. Adalah
nelayan (masyarakat pesisir) yang bisa di upayakan sebagai instrumen pembangunan
perikanan yang pada prinsipnya mampu memanfaatkan SDA dengan kontinyu. Namun, realitas
kemudian berucap lain. Panggung pembangunan perikanan kini tersudutkan dan
hampir hilang arah. Hal ini di sebabkan lemahnya relasi maupun kooperasi yang
efektif antara pemerintah maupun masyarakat yang pekerjaannya sebagai nelayan.
Kebijakan
pembangunan disektor kelautan dan perikanan belum berhasil menyelesaikan
permasalahan kemiskinan nelayan secara mendasar. Bagi Pemerintah, ikan
merupakan sumber daya potensial untuk pembiayaan pembangunan. Pemerintah lokal
bisa memperolehnya melalui pungutan pajak/ retribusi atas transaksi perdagangan
ikan di TPI ( Tempat Pelelangan Ikan ). Sebagai
bangsa yang memiliki jiwa kebaharian, maka kita harus menamakan kecintaan akan
laut dan harus dapat dimanfaatkan, melestarikan dan mengamankan kawasan laut
bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia pada masa yang akan datang.
1. Potret
Perikanan Halmahera Tengah : Masalah Dan Kebijakan
Halmahera
Tengah memiliki luas laut ± 80 % yang lebih besar daripada luas daratan, dengan
luas wilayah sebagian besar adalah perairan laut, maka potensi sumberdaya
perikanan dan kelautan baik sumberdaya dapat diperbaharui (renewable reseurces) dan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable resources) serta
jasa-jasa lingkungan (environmental
services) didalamnya merupakan aset yang sangat potensial untuk
dikembangkan, namun sungguh disayangkan bila potensi yang sedemikian besar ini
dibiarkan begitu saja bahkan Pemerintahnya
pun turut mengamini potensi ini hilang entah kemana. Kondisi ini
diperparah lagi dengan merajalelanya Ilegal
Fishing yang dilakukan oleh nelayan asing (Philipine) di perairan Halmahera
Tengah yang terus terjadi menyebabkan produktifitas nelayan lokal menurun
karena kalah bersaing.
Wilayah
perairan Halmahera Tengah dan Pulau Morotai dapat dijadikan nelayan asing
sebagai pintu masuk keluar (Fishing
Ground) untuk penangkapan/ mencuri ikan, tanpa bisa ditangkap oleh aparat
keamanan. Pihak pengamanan dilaut harus berani mengambil tindakan tegas
terhadap nelayan-nelayan asing yang menangkap ikan diwilayah NKRI. Jangan lagi
ada yang membolehkan, tapi juga ada yang melarang sehingga masyarakat dibuat
bingung mana yang bisa didengar pernyataanya. Inilah yang perlu dikikis oleh
pemerintah Halmahera Tengah guna menyatukan pendapat dan persepsi demi
membangun Negara ini kedepan. Ada pepatah mengatakan “ Guru kencing berdiri, maka murid kencing berlari”. Inilah yang
harus dihindari, jangan sampai pemerintah dan aparat yang melarang dibelakang
memberikan izin lagi. Beberapa kebijakan pemerintah Kabupaten, yang bagi
penulis menjadi kurang produktif dalam upaya mendukung optimalisasi pemanfataan
sumberdaya perikanan dan kelautan, dapat dilihat dari :
1. Lemahnya
penanganan dalam pengawalan kasus Illegal
Fishing oleh nelayan-nelayan asing yang sudah ditangkap oleh pihak
pengamanan, dikarenakan tidak ada komitmen penegak hukum dibidang perikanan
ditingkat Provinsi maupun kabupaten dan kota. Kasus beberapa kapal asing sudah
tertangkap diperairan Halmahera Tengah tepatnya di Kecamatan Patani, namun
masih tetap beroperasi hingga beberapa tahun terakhir.
2. Prioritas
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, sektor pertambangan dan energi
serta kehutanan masih menjadi prioritas dalam upaya mendapatkan sumber PAD bagi
daerah. Padahal, dari kedua sumberdaya ini, disamping memang mendapat PAD yang
signifikan bagi daerah, akan tetapi juga telah menyebabkan timbulnya kerusakan
sumberdaya dan konflik sumberdaya. Beberapa kasus konflik sumberdaya antara
perusahan pertambangan dengan masyarakat lokal (Kasus Pulau. Gebe dan WBN) serta kasus lain dapat diidentifikasi
dengan jelas di daerah ini, kiranya sudah menjadi bahan evaluasi untuk kita.
3. Pemberian
bantuan kapal penangkapan dan alat penangkapan ikan untuk nelayan yang memiliki
kapasitas dibawah standar, sehingga membuat nelayan dalam melakukan pelayaran
pada daerah Fishing ground, tidak
bisa ditempuh dengan menggunakan kapal yang berkapasitas dibawah standar, karena
kondisi ini dapat mengancam keselamatan nelayan (Kasus salah satu nelayan Gebe yang hilang dan belum ditemukan sampai
saat ini). Lebih parah lagi pemberian bantuan yang salah sasaran alias
bukan pada nelayan akibatnya bantuan-bantuan yang diberikan dipergunakan untuk
kepentingan lain bukan lagi untuk kegiatan menangkap ikan.
4. Tidak
adanya konsep yang sinergitas antara pemerintah Kabupaten, Provinsi dan Pusat
yang mengarah pada pembangunan sektor Perikanan dan Kelautan yang jelas bagi
daerah ini. Hal ini bisa dilihat dari dua hal : Pertama, bahwa pembangunan perikanan dan kelautan yang dilakukan
selama ini, ternyata belum berhasil mengangkat taraf hidup masyarakat pesisir/
nelayan didaerah ini. Kedua, dampak
pembangunan yang selama ini dilakukan ternyata telah menurunkan kualitas
lingkungan laut dan pesisir beserta sumberdaya yang terkandung didalamnya.
2.
Sail Indonesia : Antara Harapan, Kebijakan Dan Kenyataan
Sail Indonesia seakan
menggugah kita semua. Perhelatan ivent internasional ini seakan menjadi
kalibrasi bahwa pemerintahan saat ini benar – benar serius berbicara tentang
pembangunan bangsa. Adalah benar ketika kita Indonesia harus memilih pilihan
ketika berkompetisi dalam pusaran regional sampai pada tingkatan internasional.
Perlu memang aksessibility di segala sektor guna mewujudkan cita – cita
pembangunan bangsa di tengah tantangan transformasi global. Untuk itu, agar
bisa mengangkat popularitas jati diri bangsa, kita perlu melakukan hal yang
agak berbeda dengan sebelumnya. Akan tetapi, jarang terbisik dalam pikiran
tentang berbagai dampak sistemik ( sistemic
multiefect ) yang nantinya terjadi. Ini juga menjadi hal penting, sebab
belajar dari pengalaman sebelum sail Indonesia sebagai ajang promosi dan
publikasi potensi sumberdaya kita khususnya sumberdaya perikanan, pesisir dan
laut di mata internasional, juga pernah di lakukan Konfrensi perikanan se dunia
(World Ocean
Conference (WOC)) di Manado
tanggal 11-15 Mei 2009. Hal yang melatari dari berbagai
hal diatas pada esensinya merupakan akselerasi pembangunan ekonomi yang lebih
kondusif dengan menjadikan potensi perikanan dan laut sebagai lokomotif. Akan
tetapi dalam hemat penulis akan jauh dari harapan ketika dalam mengelolah
sumberdaya pemerintah lebih mengesampingkan prinsip pengelolaan yang
terintegrasi dan berkontiniu.
§ Implikasi Sail Indonesia Di
Morotai Berangkat Dari Bonaken
Sail Indonesia misalnya, Agustus 2009 lalu salah satu ivent
internasional ini di lakukan yang mana provinsi Sulawesi Utara di percayakan
sebagai panitia penyelenggara ivent ini. Satu hal yang mungkin diperhatikan
secara bersama, bahwa dalam pelaksanaan sail Indonesia ( sail Bunaken ) telah
menyisakan catatan sejarah dunia tersendiri yaitu parade kapal dari Bitung ke
teluk Manado dengan jumlah kapal terbanyak yakni 32 kapal. Kemudian selam
massal terbanyak dan upacara hari kemerdekaan di bawah permukaan laut di Pantai
Malalayang, pesisir teluk Manado dengan diikuti lebih dari 2.000 penyelam.
Menurut para ahli dari Kyushu University Japan yang membidangi ekologi terumbu
karang ini, dari sisi ekologi lingkungan laut kegiatan yang sifatnya massal di
lingkungan perairan ini tentunya tetap memberi dampak negatif terhadap
ekosistem laut. Bahkan yang menjadi momok yang menakutkan yakni lunturnya
kearifan lokal.
Bukan berarti menolak sail Indonesia yang di pusatkan di Morotai,
akan tetapi dibutuhkan tindakan – tindakan reaktif dari seluruh stakeholder
dalam mengantisipasi implikasi sail morotai.
- Rusaknya terumbu karang
sebagai primadona dalam laut.
Secara drastis perubahan aktifitas di perairan Morotai tentunya
akan bergeser dari titik normal ketitik ketidakseimbangan ekologi. Ketika hari
tepatnya pembukaan ivent internasional dimulai, bayangkan saja berapa banyak
armada kapal milik negara Indonesia dan milik negara – negara luar yang
melakukan parade sehingga berimplikasi pada aktifitas armada kapal yang merubah
kondisi lingkungan di sekitar perairan kawasan dielenggarakannya ivent tersebut.
Belum lagi di perparah dengan aktifitas dalam laut, dimana akan dilakukannya
upacara dalam laut yang dalam hemat penulis ini hanyalah bersifat serimonial
sebagai pembuktian telah dilakukannya hajatan akbar tersebut. Hal ini, jika
tidak ada upaya preventif dari pihak pemerintah maka berpangkal pada migrasinya
biota laut ketempat lain yang masih memiliki terumbu karang.
- Hilangnya satu persatu
kearifan lokal.
Wajar jika penulis kemudian berpikir bahwa akan hilangnya satu
persatu kearifan lokal pasca dari pelaksanaan sail Indonesia 2012 di Morotai.
Alasan yang bisa dipakai sebagai rujukan adalah pemerintah sampai saat ini
dalam mensosialisasikan sail Indonesia lewat kegaiatan – kegiatan seminar
maupun simposium hanya pada batasan menggenjot potensi wisata saja khususnya
wisata bahari ( ekotorisme ) itupun
hanya sebatas pelibatan instansi maupun dinas terkait. Seharusnya ada
keterlibatan masyarakat sebagai instrument penopang pembangunan.
-
Sebagai Produsen terjadinya pemanasan global ( Global Warming )
Sebagai indikator akan kesiapan Pulau Morotai dan Maluku Utara
dalam menyelenggarakan ivent internasional paling tidak bisa dilihat sejauh
mana pembangunan sarana prasarana maupun infrastruktur lain. Bayangkan saja,
untuk memenuhi keinginan investor terutama investor asing, kita butuh misalnya
fasilitas perhotelan, restoran, dan pelabuhan. Belum lagi Morotai rencananya
dijadikan sebagai kawasan megaminapolitan maka mau dan tidak mau harus dibuat
industri pengolahan perikanan sebagai sarana penunjang. Substansinya, jika hal
ini harus dipenuhi maka berapa luas areal (hektar) hutan mangrove (kayu soki)
yang harus ditebang, dimana hutan mangrove ini dalam melakukan proses
fotosintesisnya membutuhkan zat karbondioksida (CO2) dalam hal ini zat yang
paling berperan mempercepat terjadinya pemanasan global.
Dari tiga implikasi pelaksanaan sail Indonesia diatas kiranya
menjadi harapan besar penulis, bahwa sudah saatnya pemerintah melakukan upaya –
upaya preventif yang bersifat praksis misalkan pelibatan masyarakat pada
kegiatan kebudayaan, melakukan penanaman pohon mangrove di kepulaun Morotai dan
menetapkan wilayah – wilayah konservasi dikepulauan Morotai serta masih banyak
upaya lain yang tidak sempat diurai dalam tulisan ini yang menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi kita. Sebab
jika upaya preventif itu tidak dilakukan dari sekarang maka jangan heran ketika hal – hal yang tak
pernah dipikirkan sebelumnya ( force
mejor ) akan terjadi lebih banyak lagi.
3.
FTJ dan Halbar Sebagai Medium Pembangunan Kelautan
Melihat
pembangunan yang di canangkan pemerintah Halmahera Barat (Halbar) terkait dengan pagelaran Festival Teluk Jailolo (FTJ) yang akan kembali di gelar, saya kemudian
merasa terpanggil untuk sedikit mengorek konsepsi pembangunan yang notabenennya
mengulas glamor
bahari serta budaya. Padahal, logika pembangunan yang di jadikan acuan
pemerintah Halmahera Barat ternyata masih perlu memforsirkan guna menjadi titik pijak
dalam menata
pembangunan yang lebih efektif. Bagi saya, FTJ yang setiap tahun di lakukan oleh
Pemkab perlu di benahi secara urgen. Sebab, ada beberapa alasan mendasar yang
patut di upayakan agar realisasinya dapat di terima oleh masyarakat. Kini Pemkab sudah
seharusnya serius melihat berbagai kebutuhan pembangunan untuk mendorong FTJ
sebagai salah satu icon penting. Kenapa demikian? Sebab arah kebijakan yang
sinergis dalam memposisikan angka-angka efesiensi adalah hal yang perlu di
pikirkan Pemkab, kalaupun “mau” menempatkan Halbar pada posisi yang strategis
secara regional, nasional, maupun global.
Pada
beberapa saat, Pemkab selalu mengandalkan tujuan FTJ sebagai salah satu
platform pembangunan yang orientasinya pada pelestarian kearifan lokal serta
pengenalan wilayah wisata bahari. Akan tetapi, pada sisi lain, ada sekelumit
tujuan yang harus di perhatikan dengan serius, yakni penataan ruang pembangunan
yang simetris serta penempatan
peluang yang terarah. Cita-cita ini tentunya memiliki nilai
tersendiri ketika Pemkab bersedia memberi sedikit kesempatan dalam memajukan posisi
Halbar. Sederhanya, alasan
inilah yang dapat memberi angin segar bagi kemajuan FTJ dalam beberapa tahun nantinya. Pada dasarnya, Halbar harus
jelih melihat kondisi ini
sebagai konsepsi yang efesien dalam menggulingkan roda perekonomian.Yang
pertama, penataan ruang bermaksud menarik perhatian khalayak yang ada. Yang
kedua, posisi Halbar tidak di pandang sebelah mata sebagai salah satu kabupaten
yang siap bersaing. Dan yang ketiga, konstalasi politik Halbar mulai di pandang
dari sisi positif.
Kehadiran saya tidak sebagai futorolog, atau sebagai
‘perancang’ masa depan Halbar, namun pada substansinya, Pemkab sudah semestinya
menyiapkan dua dasar logika pembangunan yang harus di realisasikan, yakni yang
saya sebut sebagai konsepsi preventif dan konsepsi protektif. Pada intinya, yang
di maksud oleh saya dengan kedua tawaran tersebut, adalah perancanaan
pencegahan serta perancanaan perlindungan. Artinya, hal ini harus menjadi ‘pegangan’ Pemkab dalam
memposisikan Halbar dengan FTJ-nya sebagai emporium perekonomian dunia.
Oleh dengan itu, pencegahan dasar sebelum menghelat
pageleran FTJ paling tidak telah menyiapkan hal mendasar terkait dengan
kebutuhan pembangunan, yakni yang berorientasi pada perbaikan perangkat kerja
(sistem) dengan mengutamakan kepentingan rakyat, salah satunya adalah
penyiadaan infrastruktur sebagai wahana untuk memperlancar aktivitas masyarakat
lokal maupun masyarakat asing. Setelah itu, perlu ada perlindungan pembangunan yang
berbasis kepulauan, yakni penguatan konservasi lingkungan pesisir sebagai upaya
melindungi keindahan alam yang juga menjadi premoar Halbar pada khususnya.
Sungguh penting kiranya, acuan tersebut harus menjadi
‘palu’ kebijakan yang utama sebelum FTJ di laksanakan. Sebab, realitas telah
membuktikan, ada beberapa kawasan pesisir misalnya ‘hutan mangrove’ yang sudah
di tebang hanya karena di jadikan sebagai lahan komersil, yang kini di sulap
menjadi ‘lapangan terbuka’ yang semata-mata hanya untuk kepentingan pagelaran
FTJ. Padahal, dalam kajian perikanan, jikalaupun ‘mau’ menempatkan bahari sebagai
icon FTJ maka perlu adanya revitalisasi kawasan hutan mangrove
maupun konsevasi terumbu karang sebagai jalan utama dalam
mendorong konsepsi bahari. Akan tetapi, ini kemudian tidak di upayakan dengan
maksimal oleh pemangku kepentingan itu sendiri. Mungkin kita pun paham, bahwa konsep pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) adalah proses pembangunan yang benar-benar
menggubris tiga kebijakan penting, yaitu pembangunan ekonomi, sosial-budaya,
dan perlindungan lingkungan. Maka dengan ini, terkait dengan kebijakan yang
‘sudah terlanjur’, Pemkab Halbar harus sepatutnya mengayomi kebutuhan
pembangunan yang mendasar sebelum mengiming-iming FTJ sebagai platform
pembangunan yang efektif. Paling tidak, kehadiran FTJ harus menjadi panutan
yang positif untuk Halbar kedepannya.
4.
Peluang Solutif dan Masalah
Dilain
sisi kendala yang menghambat proses pembangunan sector perikanan saat ini
adalah Ilegal fishing, mengapa tidak
ketika kebijakan Pemerintah untuk menghadirkan suatu lembaga hukum yang
menangani Ilegal fishing sebut saja
PENGADILAN PERIKANAN masih belum terealisasikan, seakan menjadi suatu
ketakutan, padahal kasus terbesar untuk Ilegal
fishing terdapat diperairan Maluku Utara. Berbagai kajian lanjutan yang
dilakukan oleh pihak akademisi mendeskripsikan dengan jelas potensi perikanan
Maluku Utara adalah lumbung ikan tuna, hal ini jelas di jabarkan dalam kongres
tuna Internasional di General Santos Philipina. Yang kedua pembentukan
post-post pengawasan didaerah yang rawan pencurian
Ikan belum maksimal, hal ini dikarenakan minimnya penyediaan sarana dan
prasarana pengawasan pengamanan laut (kapal-kapal patroli AL-Angkatan Laut) masih berada dibawah
standar dengan fasilitas yang sudah mengalami kerusakan.
Dari
pelbagai masalah dan kebijakan daerah yang di singgung diatas, dapat dikatakan
bahwa komitmen dan kemauan pemerintah daerah untuk menjadikan potensi besar
daerah ini menjadi energi untuk menjalankan mesin pembangunan daerah ini
sangatlah kurang. Harus kita akui bahwa perikanan sebagai pemain kecil, dalam
sebuah dinamika orkestra pembangunan ini, bukan karena perikanan tidak
berpotensi, tetapi potensi perikanan Maluku Utara belum ditunjukkan secara nyata sehingga
banyak orang beranggapan bahwa dunia perikanan itu merupakan dunia hayalan.
Peluang untuk meningkatkan pengembangan perikanan di masa datang, cukup besar
antara lain karena sumberdaya perikanan yang tersedia cukup besar potensinya,
memiliki keunggulan komparatif, peluang emporium cukup baik dan belum dimanfaatkan. Untuk meningkatkan
produksi ikan sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir/ nelayan,
maka diperlukan suatu sistem pengolahan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan (sustanible),
melalui usaha preventif, protektif, intensifikasi,
ekstensifikasi dan rehabilitasi. Usaha ini harus didukung oleh berbagai jenis
usaha lainya, misalnya melalui upaya restorasi ekosistem hutan mangrove, konservasi ekosistem terumbu karang
dan pencegahan pencemaran laut.
Untuk
mengelola potensi kawasan laut Maluku
Utara,
dituntut adanya keterpaduan dalam kebijaksanaan dan penanganan melalui
koordinasi yang kontinyu
dengan melibatkan stack holder yang
berkompeten pada sektor kelautan dan perikanan, baik dalam perencanaan maupun
dalam pelaksanaan kegiatan oleh masing-masing yang berwenang. Kita tahu bahwa
konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) pada tahun 1982 sebagaimana telah
diberlakukan sebagai Hukum Internasional. Dengan demikian masalah-masalah
kelautan memerlukan penanganan yang menyeluruh dan lebih terintegrasi, baik
dalam kebijaksanaan nasional maupun yang bersifat operasional dilapangan.
Strategi
pengembangan kawasan Perikanan 2010-2014 sebagai komoditas unggulan oleh
Pemerintah Propinsi Maluku Utara, menempatkan Kab. Halmahera Tengah pada
prioritas ke-III untuk perikanan tangkap
(Tuna), sedangkan perikanan budidaya
untuk ( Budidaya Rumput Laut Dan Kerapu )
menempatkan Halmahera Tengah pada prioritas ke-II. (Baca: Kebijakan dan
Startegi Pembangunan Kelautan dan
Perikanan Provinsi Maluku Utara. Seminar Kepulauan Dan Kemah Riset Himpunan
Mahasiswa Perikanan Indonesia Wilayah VII). Hal terpenting yang
patut diperhatikan demi terciptanya keterpaduan dalam memanfaatkan laut bukan
dilaksanakan hanya berdasar pada resep ekonomi, akan tetapi keseimbangan
ekologi mutlak diperlukan. Oleh karena itu diperlukan ketersedian teknologi
yang lebih baik, tumbuhnya budaya bahari, berkembangnya penataan pola migrasi
biota laut, dan meluasnya teknik budidaya perikanan laut yang ramah lingkungan.
Selebihnya, kehadiran makalah ini hanyalah sekelumit
harapan anak-anak pulau, bahwa semoga kedepannya, akan muncul sebuah desain
maupun konsepsi yang terarah, sistematis, dan terpercaya yang mampu membuka
peluang solutif bagi masa depan kelautan dan perikanan Maluku Utara pada
khususnya. Akhir dari tulisan ini -- meretas asa diatas samudera dari laut kita
membangun, laut masa depan kita. “Bila
Hatimu Bergetar Marah Melihat Ketidak Adilan Maka Kita Adalah Kawan,
Solidaritas Biru Dilarang Takut”.