Senin, 22 April 2013

POTRET PERIKANAN MALUKU UTARA

POTRET PERIKANAN MALUKU UTARA : DARI SAIL, TUNA, SAMPAI WISATA BAHARI 
(Sekelumit Harapan Anak-Anak Pulau)

1.  Kismanto Koroy, 2. Ibrahim Asnawi, 3. Rajif Duchlun *
Lembaga Kelautan Perikanan (LKP) Universitas Khairun Ternate
Tulisan ; Musyawarah Wilayah Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia 
(HIMAPIKANI- Wilayah VII), 2012

Sebagai Archipelagic state (Negara Kepulauan) Indonesia pun di tuntut untuk dapat mengakselarasi pembangunan secara sustanible, menilik kondisi geografis dan geostrategis sumberdaya alam yang dimiliki oleh perairan Indonesia ternyata memiliki daya dukung lingkungan (carryng capacity) serta jasa-jasa lingkungan yang belum di eksplorasi secara masiv.
Issue potensi perikanan merupakan glamor sekaligus citera bagi pembangunan Indonesia khususnya di wilayah timur. Hal ini di tandai dengan adanya berbagai konsepsi yang di sajikan di hadapan khalayak luas. Betapa tidak, premoar pembangunan yang berbasis kepulauan kini gencar-gencarnya di wacanakan pemerintah dalam memposisikan wilayah timur sebagai garasi perekonomian dunia. Akan tetapi, bagi kalangan akademisi maupun aktivis lebih memilih pada posisi sarana solutif dalam melihat issue tersebut. Hal ini bisa di lihat dengan masih merebaknya masalah perikanan dan kelautan yang melilit kondisi pembangunan. Lihat saja yang kini menimpa bumi Maluku Utara.
Secara geografis, Maluku Utara merupakan wilayah kepulauan dengan jumlah pulau kurang lebih 805 pulau, dengan luas wilayah mencapai ± 140.225,36 km2, yang terdiri dari 78 % lautan dan 22 % daratan, letak geografisnya antara 30 LU dan 30 LS dan 1240-1290 Bujur Timur dan memiliki panjang garis pantai (luasnya ± 18.000 km2). Maka dengan posisi wilayah tersebut, tentunya memiliki sekelumit deskripsi yang pada dasarnya bisa di manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Apalagi, pada sisi SDM bisa di dorong guna menjadi icon pemanfaatan dalam menegasikan angka-angka pembangunan itu sendiri. Adalah nelayan (masyarakat pesisir) yang bisa di upayakan sebagai instrumen pembangunan perikanan yang pada prinsipnya mampu memanfaatkan SDA dengan kontinyu. Namun, realitas kemudian berucap lain. Panggung pembangunan perikanan kini tersudutkan dan hampir hilang arah. Hal ini di sebabkan lemahnya relasi maupun kooperasi yang efektif antara pemerintah maupun masyarakat yang pekerjaannya sebagai nelayan.
Kebijakan pembangunan disektor kelautan dan perikanan belum berhasil menyelesaikan permasalahan kemiskinan nelayan secara mendasar. Bagi Pemerintah, ikan merupakan sumber daya potensial untuk pembiayaan pembangunan. Pemerintah lokal bisa memperolehnya melalui pungutan pajak/ retribusi atas transaksi perdagangan ikan di TPI ( Tempat Pelelangan Ikan ). Sebagai bangsa yang memiliki jiwa kebaharian, maka kita harus menamakan kecintaan akan laut dan harus dapat dimanfaatkan, melestarikan dan mengamankan kawasan laut bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia pada masa yang akan datang.
1.   Potret Perikanan Halmahera Tengah : Masalah Dan Kebijakan
Halmahera Tengah memiliki luas laut ± 80 % yang lebih besar daripada luas daratan, dengan luas wilayah sebagian besar adalah perairan laut, maka potensi sumberdaya perikanan dan kelautan baik sumberdaya dapat diperbaharui (renewable reseurces) dan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable resources) serta jasa-jasa lingkungan (environmental services) didalamnya merupakan aset yang sangat potensial untuk dikembangkan, namun sungguh disayangkan bila potensi yang sedemikian besar ini dibiarkan begitu saja bahkan Pemerintahnya pun turut mengamini potensi ini hilang entah kemana. Kondisi ini diperparah lagi dengan merajalelanya Ilegal Fishing yang dilakukan oleh nelayan asing (Philipine) di perairan Halmahera Tengah yang terus terjadi menyebabkan produktifitas nelayan lokal menurun karena kalah bersaing.
Wilayah perairan Halmahera Tengah dan Pulau Morotai dapat dijadikan nelayan asing sebagai pintu masuk keluar (Fishing Ground) untuk penangkapan/ mencuri ikan, tanpa bisa ditangkap oleh aparat keamanan. Pihak pengamanan dilaut harus berani mengambil tindakan tegas terhadap nelayan-nelayan asing yang menangkap ikan diwilayah NKRI. Jangan lagi ada yang membolehkan, tapi juga ada yang melarang sehingga masyarakat dibuat bingung mana yang bisa didengar pernyataanya. Inilah yang perlu dikikis oleh pemerintah Halmahera Tengah guna menyatukan pendapat dan persepsi demi membangun Negara ini kedepan. Ada pepatah mengatakan “ Guru kencing berdiri, maka murid kencing berlari”. Inilah yang harus dihindari, jangan sampai pemerintah dan aparat yang melarang dibelakang memberikan izin lagi. Beberapa kebijakan pemerintah Kabupaten, yang bagi penulis menjadi kurang produktif dalam upaya mendukung optimalisasi pemanfataan sumberdaya perikanan dan kelautan, dapat dilihat dari :
1.    Lemahnya penanganan dalam pengawalan kasus Illegal Fishing oleh nelayan-nelayan asing yang sudah ditangkap oleh pihak pengamanan, dikarenakan tidak ada komitmen penegak hukum dibidang perikanan ditingkat Provinsi maupun kabupaten dan kota. Kasus beberapa kapal asing sudah tertangkap diperairan Halmahera Tengah tepatnya di Kecamatan Patani, namun masih tetap beroperasi hingga beberapa tahun terakhir.
2.    Prioritas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, sektor pertambangan dan energi serta kehutanan masih menjadi prioritas dalam upaya mendapatkan sumber PAD bagi daerah. Padahal, dari kedua sumberdaya ini, disamping memang mendapat PAD yang signifikan bagi daerah, akan tetapi juga telah menyebabkan timbulnya kerusakan sumberdaya dan konflik sumberdaya. Beberapa kasus konflik sumberdaya antara perusahan pertambangan dengan masyarakat lokal (Kasus Pulau. Gebe dan WBN) serta kasus lain dapat diidentifikasi dengan jelas di daerah ini, kiranya sudah menjadi bahan evaluasi untuk kita.
3.    Pemberian bantuan kapal penangkapan dan alat penangkapan ikan untuk nelayan yang memiliki kapasitas dibawah standar, sehingga membuat nelayan dalam melakukan pelayaran pada daerah Fishing ground, tidak bisa ditempuh dengan menggunakan kapal yang berkapasitas dibawah standar, karena kondisi ini dapat mengancam keselamatan nelayan (Kasus salah satu nelayan Gebe yang hilang dan belum ditemukan sampai saat ini). Lebih parah lagi pemberian bantuan yang salah sasaran alias bukan pada nelayan akibatnya bantuan-bantuan yang diberikan dipergunakan untuk kepentingan lain bukan lagi untuk kegiatan menangkap ikan.
4.    Tidak adanya konsep yang sinergitas antara pemerintah Kabupaten, Provinsi dan Pusat yang mengarah pada pembangunan sektor Perikanan dan Kelautan yang jelas bagi daerah ini. Hal ini bisa dilihat dari dua hal : Pertama, bahwa pembangunan perikanan dan kelautan yang dilakukan selama ini, ternyata belum berhasil mengangkat taraf hidup masyarakat pesisir/ nelayan didaerah ini. Kedua, dampak pembangunan yang selama ini dilakukan ternyata telah menurunkan kualitas lingkungan laut dan pesisir beserta sumberdaya yang terkandung didalamnya.

2.    Sail Indonesia : Antara Harapan, Kebijakan Dan Kenyataan
Sail Indonesia seakan menggugah kita semua. Perhelatan ivent internasional ini seakan menjadi kalibrasi bahwa pemerintahan saat ini benar – benar serius berbicara tentang pembangunan bangsa. Adalah benar ketika kita Indonesia harus memilih pilihan ketika berkompetisi dalam pusaran regional sampai pada tingkatan internasional. Perlu memang aksessibility di segala sektor guna mewujudkan cita – cita pembangunan bangsa di tengah tantangan transformasi global. Untuk itu, agar bisa mengangkat popularitas jati diri bangsa, kita perlu melakukan hal yang agak berbeda dengan sebelumnya. Akan tetapi, jarang terbisik dalam pikiran tentang berbagai dampak sistemik ( sistemic multiefect ) yang nantinya terjadi. Ini juga menjadi hal penting, sebab belajar dari pengalaman sebelum sail Indonesia sebagai ajang promosi dan publikasi potensi sumberdaya kita khususnya sumberdaya perikanan, pesisir dan laut di mata internasional, juga pernah di lakukan Konfrensi perikanan se dunia (World Ocean Conference (WOC)) di Manado tanggal 11-15 Mei 2009. Hal yang melatari dari berbagai hal diatas pada esensinya merupakan akselerasi pembangunan ekonomi yang lebih kondusif dengan menjadikan potensi perikanan dan laut sebagai lokomotif. Akan tetapi dalam hemat penulis akan jauh dari harapan ketika dalam mengelolah sumberdaya pemerintah lebih mengesampingkan prinsip pengelolaan yang terintegrasi dan berkontiniu.
§  Implikasi Sail Indonesia Di Morotai Berangkat Dari Bonaken
Sail Indonesia misalnya, Agustus 2009 lalu salah satu ivent internasional ini di lakukan yang mana provinsi Sulawesi Utara di percayakan sebagai panitia penyelenggara ivent ini. Satu hal yang mungkin diperhatikan secara bersama, bahwa dalam pelaksanaan sail Indonesia ( sail Bunaken ) telah menyisakan catatan sejarah dunia tersendiri yaitu parade kapal dari Bitung ke teluk Manado dengan jumlah kapal terbanyak yakni 32 kapal. Kemudian selam massal terbanyak dan upacara hari kemerdekaan di bawah permukaan laut di Pantai Malalayang, pesisir teluk Manado dengan diikuti lebih dari 2.000 penyelam. Menurut para ahli dari Kyushu University Japan yang membidangi ekologi terumbu karang ini, dari sisi ekologi lingkungan laut kegiatan yang sifatnya massal di lingkungan perairan ini tentunya tetap memberi dampak negatif terhadap ekosistem laut. Bahkan yang menjadi momok yang menakutkan yakni lunturnya kearifan lokal.
Bukan berarti menolak sail Indonesia yang di pusatkan di Morotai, akan tetapi dibutuhkan tindakan – tindakan reaktif dari seluruh stakeholder dalam mengantisipasi implikasi sail morotai.
-       Rusaknya terumbu karang sebagai primadona dalam laut.
Secara drastis perubahan aktifitas di perairan Morotai tentunya akan bergeser dari titik normal ketitik ketidakseimbangan ekologi. Ketika hari tepatnya pembukaan ivent internasional dimulai, bayangkan saja berapa banyak armada kapal milik negara Indonesia dan milik negara – negara luar yang melakukan parade sehingga berimplikasi pada aktifitas armada kapal yang merubah kondisi lingkungan di sekitar perairan kawasan dielenggarakannya ivent tersebut. Belum lagi di perparah dengan aktifitas dalam laut, dimana akan dilakukannya upacara dalam laut yang dalam hemat penulis ini hanyalah bersifat serimonial sebagai pembuktian telah dilakukannya hajatan akbar tersebut. Hal ini, jika tidak ada upaya preventif dari pihak pemerintah maka berpangkal pada migrasinya biota laut ketempat lain yang masih memiliki terumbu karang.
-       Hilangnya satu persatu kearifan lokal.
Wajar jika penulis kemudian berpikir bahwa akan hilangnya satu persatu kearifan lokal pasca dari pelaksanaan sail Indonesia 2012 di Morotai. Alasan yang bisa dipakai sebagai rujukan adalah pemerintah sampai saat ini dalam mensosialisasikan sail Indonesia lewat kegaiatan – kegiatan seminar maupun simposium hanya pada batasan menggenjot potensi wisata saja khususnya wisata bahari ( ekotorisme ) itupun hanya sebatas pelibatan instansi maupun dinas terkait. Seharusnya ada keterlibatan masyarakat sebagai instrument penopang pembangunan.
-       ­Sebagai Produsen terjadinya pemanasan global ( Global Warming )
Sebagai indikator akan kesiapan Pulau Morotai dan Maluku Utara dalam menyelenggarakan ivent internasional paling tidak bisa dilihat sejauh mana pembangunan sarana prasarana maupun infrastruktur lain. Bayangkan saja, untuk memenuhi keinginan investor terutama investor asing, kita butuh misalnya fasilitas perhotelan, restoran, dan pelabuhan. Belum lagi Morotai rencananya dijadikan sebagai kawasan megaminapolitan maka mau dan tidak mau harus dibuat industri pengolahan perikanan sebagai sarana penunjang. Substansinya, jika hal ini harus dipenuhi maka berapa luas areal (hektar) hutan mangrove (kayu soki) yang harus ditebang, dimana hutan mangrove ini dalam melakukan proses fotosintesisnya membutuhkan zat karbondioksida (CO2) dalam hal ini zat yang paling berperan mempercepat terjadinya pemanasan global.
Dari tiga implikasi pelaksanaan sail Indonesia diatas kiranya menjadi harapan besar penulis, bahwa sudah saatnya pemerintah melakukan upaya – upaya preventif yang bersifat praksis misalkan pelibatan masyarakat pada kegiatan kebudayaan, melakukan penanaman pohon mangrove di kepulaun Morotai dan menetapkan wilayah – wilayah konservasi dikepulauan Morotai serta masih banyak upaya lain yang tidak sempat diurai dalam tulisan ini yang  menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi kita. Sebab jika upaya preventif itu tidak dilakukan dari sekarang  maka jangan heran ketika hal – hal yang tak pernah dipikirkan sebelumnya ( force mejor ) akan terjadi lebih banyak lagi.
3.    FTJ dan Halbar Sebagai Medium Pembangunan Kelautan
Melihat pembangunan yang di canangkan pemerintah Halmahera Barat (Halbar) terkait dengan pagelaran Festival Teluk Jailolo (FTJ) yang akan kembali di gelar, saya kemudian merasa terpanggil untuk sedikit mengorek konsepsi pembangunan yang notabenennya mengulas glamor bahari serta budaya. Padahal, logika pembangunan yang di jadikan acuan pemerintah Halmahera Barat ternyata masih perlu memforsirkan guna menjadi titik pijak dalam menata pembangunan yang lebih efektif. Bagi saya, FTJ yang setiap tahun di lakukan oleh Pemkab perlu di benahi secara urgen. Sebab, ada beberapa alasan mendasar yang patut di upayakan agar realisasinya dapat di terima oleh masyarakat. Kini Pemkab sudah seharusnya serius melihat berbagai kebutuhan pembangunan untuk mendorong FTJ sebagai salah satu icon penting. Kenapa demikian? Sebab arah kebijakan yang sinergis dalam memposisikan angka-angka efesiensi adalah hal yang perlu di pikirkan Pemkab, kalaupun “mau” menempatkan Halbar pada posisi yang strategis secara regional, nasional, maupun global.
Pada beberapa saat, Pemkab selalu mengandalkan tujuan FTJ sebagai salah satu platform pembangunan yang orientasinya pada pelestarian kearifan lokal serta pengenalan wilayah wisata bahari. Akan tetapi, pada sisi lain, ada sekelumit tujuan yang harus di perhatikan dengan serius, yakni penataan ruang pembangunan yang simetris serta penempatan peluang yang terarah. Cita-cita ini tentunya memiliki nilai tersendiri ketika Pemkab bersedia memberi sedikit kesempatan dalam memajukan posisi Halbar. Sederhanya, alasan inilah yang dapat memberi angin segar bagi kemajuan FTJ dalam beberapa tahun nantinya. Pada dasarnya, Halbar harus jelih melihat kondisi ini sebagai konsepsi yang efesien dalam menggulingkan roda perekonomian.Yang pertama, penataan ruang bermaksud menarik perhatian khalayak yang ada. Yang kedua, posisi Halbar tidak di pandang sebelah mata sebagai salah satu kabupaten yang siap bersaing. Dan yang ketiga, konstalasi politik Halbar mulai di pandang dari sisi positif.
Kehadiran saya tidak sebagai futorolog, atau sebagai ‘perancang’ masa depan Halbar, namun pada substansinya, Pemkab sudah semestinya menyiapkan dua dasar logika pembangunan yang harus di realisasikan, yakni yang saya sebut sebagai konsepsi preventif dan konsepsi protektif. Pada intinya, yang di maksud oleh saya dengan kedua tawaran tersebut, adalah perancanaan pencegahan serta perancanaan perlindungan. Artinya, hal ini harus menjadi ‘pegangan’ Pemkab dalam memposisikan Halbar dengan FTJ-nya sebagai emporium perekonomian dunia. Oleh dengan itu, pencegahan dasar sebelum menghelat pageleran FTJ paling tidak telah menyiapkan hal mendasar terkait dengan kebutuhan pembangunan, yakni yang berorientasi pada perbaikan perangkat kerja (sistem) dengan mengutamakan kepentingan rakyat, salah satunya adalah penyiadaan infrastruktur sebagai wahana untuk memperlancar aktivitas masyarakat lokal maupun masyarakat asing. Setelah itu, perlu ada perlindungan pembangunan yang berbasis kepulauan, yakni penguatan konservasi lingkungan pesisir sebagai upaya melindungi keindahan alam yang juga menjadi premoar Halbar pada khususnya.
Sungguh penting kiranya, acuan tersebut harus menjadi ‘palu’ kebijakan yang utama sebelum FTJ di laksanakan. Sebab, realitas telah membuktikan, ada beberapa kawasan pesisir misalnya ‘hutan mangrove’ yang sudah di tebang hanya karena di jadikan sebagai lahan komersil, yang kini di sulap menjadi ‘lapangan terbuka’ yang semata-mata hanya untuk kepentingan pagelaran FTJ. Padahal, dalam kajian perikanan, jikalaupun ‘mau’ menempatkan bahari sebagai icon FTJ maka perlu adanya revitalisasi kawasan hutan mangrove maupun konsevasi terumbu karang sebagai jalan utama dalam mendorong konsepsi bahari. Akan tetapi, ini kemudian tidak di upayakan dengan maksimal oleh pemangku kepentingan itu sendiri. Mungkin kita pun paham, bahwa konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah proses pembangunan yang benar-benar menggubris tiga kebijakan penting, yaitu pembangunan ekonomi, sosial-budaya, dan perlindungan lingkungan. Maka dengan ini, terkait dengan kebijakan yang ‘sudah terlanjur’, Pemkab Halbar harus sepatutnya mengayomi kebutuhan pembangunan yang mendasar sebelum mengiming-iming FTJ sebagai platform pembangunan yang efektif. Paling tidak, kehadiran FTJ harus menjadi panutan yang positif untuk Halbar kedepannya.
4.    Peluang Solutif dan Masalah
Dilain sisi kendala yang menghambat proses pembangunan sector perikanan saat ini adalah Ilegal fishing, mengapa tidak ketika kebijakan Pemerintah untuk menghadirkan suatu lembaga hukum yang menangani Ilegal fishing sebut saja PENGADILAN PERIKANAN masih belum terealisasikan, seakan menjadi suatu ketakutan, padahal kasus terbesar untuk Ilegal fishing terdapat diperairan Maluku Utara. Berbagai kajian lanjutan yang dilakukan oleh pihak akademisi mendeskripsikan dengan jelas potensi perikanan Maluku Utara adalah lumbung ikan tuna, hal ini jelas di jabarkan dalam kongres tuna Internasional di General Santos Philipina. Yang kedua pembentukan post-post pengawasan didaerah yang rawan pencurian Ikan belum maksimal, hal ini dikarenakan minimnya penyediaan sarana dan prasarana pengawasan pengamanan laut (kapal-kapal patroli AL-Angkatan Laut) masih berada dibawah standar dengan fasilitas yang sudah mengalami kerusakan.
Dari pelbagai masalah dan kebijakan daerah yang di singgung diatas, dapat dikatakan bahwa komitmen dan kemauan pemerintah daerah untuk menjadikan potensi besar daerah ini menjadi energi untuk menjalankan mesin pembangunan daerah ini sangatlah kurang. Harus kita akui bahwa perikanan sebagai pemain kecil, dalam sebuah dinamika orkestra pembangunan ini, bukan karena perikanan tidak berpotensi, tetapi potensi perikanan Maluku Utara belum ditunjukkan secara nyata sehingga banyak orang beranggapan bahwa dunia perikanan itu merupakan dunia hayalan. Peluang untuk meningkatkan pengembangan perikanan di masa datang, cukup besar antara lain karena sumberdaya perikanan yang tersedia cukup besar potensinya, memiliki keunggulan komparatif, peluang emporium cukup baik dan belum dimanfaatkan. Untuk meningkatkan produksi ikan sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir/ nelayan, maka diperlukan suatu sistem pengolahan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan (sustanible), melalui usaha preventif, protektif, intensifikasi, ekstensifikasi dan rehabilitasi. Usaha ini harus didukung oleh berbagai jenis usaha lainya, misalnya melalui upaya restorasi ekosistem hutan mangrove, konservasi ekosistem terumbu karang dan pencegahan pencemaran laut.
Untuk mengelola potensi kawasan laut Maluku Utara, dituntut adanya keterpaduan dalam kebijaksanaan dan penanganan melalui koordinasi yang kontinyu dengan melibatkan stack holder yang berkompeten pada sektor kelautan dan perikanan, baik dalam perencanaan maupun dalam pelaksanaan kegiatan oleh masing-masing yang berwenang. Kita tahu bahwa konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) pada tahun 1982 sebagaimana telah diberlakukan sebagai Hukum Internasional. Dengan demikian masalah-masalah kelautan memerlukan penanganan yang menyeluruh dan lebih terintegrasi, baik dalam kebijaksanaan nasional maupun yang bersifat operasional dilapangan.
Strategi pengembangan kawasan Perikanan 2010-2014 sebagai komoditas unggulan oleh Pemerintah Propinsi Maluku Utara, menempatkan Kab. Halmahera Tengah pada prioritas  ke-III untuk perikanan tangkap (Tuna), sedangkan perikanan budidaya untuk ( Budidaya Rumput Laut Dan Kerapu ) menempatkan Halmahera Tengah pada prioritas ke-II. (Baca: Kebijakan dan Startegi  Pembangunan Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Utara. Seminar Kepulauan Dan Kemah Riset Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia Wilayah VII). Hal terpenting yang patut diperhatikan demi terciptanya keterpaduan dalam memanfaatkan laut bukan dilaksanakan hanya berdasar pada resep ekonomi, akan tetapi keseimbangan ekologi mutlak diperlukan. Oleh karena itu diperlukan ketersedian teknologi yang lebih baik, tumbuhnya budaya bahari, berkembangnya penataan pola migrasi biota laut, dan meluasnya teknik budidaya perikanan laut yang ramah lingkungan.
Selebihnya, kehadiran makalah ini hanyalah sekelumit harapan anak-anak pulau, bahwa semoga kedepannya, akan muncul sebuah desain maupun konsepsi yang terarah, sistematis, dan terpercaya yang mampu membuka peluang solutif bagi masa depan kelautan dan perikanan Maluku Utara pada khususnya. Akhir dari tulisan ini -- meretas asa diatas samudera dari laut kita membangun, laut masa depan kita. “Bila Hatimu Bergetar Marah Melihat Ketidak Adilan Maka Kita Adalah Kawan, Solidaritas Biru Dilarang Takut”.


SKPT Morotai dan Kebijakan Pengelolaan Perikanan

SKPT Morotai dan Kebijakan Pengelolaan Perikanan (Pernah terbit di REPUBLIKA, edisi 18 Januari 2018   08:10 WIB ) Oleh : Kismanto...