Sabtu, 14 September 2013

Jiew : Sebuah Tinjauan Historis

Jiew : Sebuah Tinjaun Historis
 
 
Sejarah pulau itu terjadi bermula dari dua orang bersaudara yang tinggal di wliayah patani utara sekitar Tahun 1302. Borfa tinggal di Gaelafat (Gemia) dan Bornabi tinggal di Patamdi (Tepeleo) Kedua daerah ini sekarang secara adminitrasi termasuk dalam wilayah Kecamatan Patani Utara Kabupaten Halmahera Tengah. Kedua orang ini saat mereka dikebun (Gaelafat) mereka memandang kelaut tiba-tiba melihat sebuah pulau yang muncul/kelihatan dikejauhan. Mereka kemudian berniat dan bersepakat untuk pergi kepulau itu. Dari kebun kemudian turun kepesisir Patamdi (Tepeleo) dengan tujuan untuk mempersiapkan peralatan (perahu dan sebagainya) untuk menuju pulau yang di lihat.
Pada saat mereka mempersiapkan peralatan tersebut datanglah seorang tua beserta 7 orang putra dan 1 orang putri dari desa Wayamli (Saat ini termasuk wilayah administrasi Kabupaten Halmahera Timur). Putri tersebut mengidap penyakit kusta. Kedatangan keluarga ini dengan maksud untuk mencari obat. Pada saat bertemu kelurga ini bermaksud meminta bantuan kepada Borfa dan Bornabi untuk mencarikan obat karena putrinya mengidap penyakit kusta. Sementara mempersiapkan obat putrinya meninggal dan di makamkan di patamdi (Tepeloe,). Setelah acara pemakaman mereka (Borfa dan Burnabi) kemudian memutuskan untuk melanjutkan keinginan mereka ke pulau yang dilihat.
Dalam perjalanan mereka juga diantar oleh keluarga tadi (dari desa Wayamli) sesampainya di Loi Tob (Pulau Karang) kurang lebih 13 mill dari pulau Yiuw mereka kemudian berpisah. Pada saat berpisah orang wayamlii membuat pernyataan kepada Borfa dan Bornabi dengan bahasa Wayamli ”Kipat potone, kipat potone” artinya bahwa batu, pulau dan segala yang ada di sekitarnya adalah milik orang Patani yang notebene adalah Borfa (Gemia) dan Burnabi (Tepeleo). Selanjutnya kepemilikan pulau Yiuw menjadi bagian dari wlayah desa gemia karena atas dasar pernyaataan Bornabi bahwa diantara mereka berdua yang pertama kali melihat pulau ketika berada dipuncak gaelafat (puncak tertinggi di patani utara) adalah Borfa sebagai adiknya yang tinggal di dasa Gemia.
Pulau Jiew pertama kali disebut oleh mereka dengan nama IAW yang artinya pulau burung karena di pulau ini terdapat Burung Emas yang oleh masyarakat Patani (Gemia) disebut IAW. Atas dasar penyebutan ini menjadi cikal bakal penamaan pulau Jiew sampai saat ini.
Secara yuridis pulau Jiew merupakan bagian dari wilayah kesultanan Tidore yang ditertibkan pada masa pemerintahan Sultan Tidore pertama Bakir Nakir Asfarisani pada tahun 1306. Sebelum pemekaran wilayah, nama asli patani adalah poton, yang artinya adalah yang punya tanah ini. Dan kemudian Pada masa pemerintahan Sultan Jou Barakati Ikhtibar Sjah Raja Cililiati (1403-1443) raja ke-9 yang menetapkan pulau Jiew sebagai bagian dari wilayah desa Gemia.

Setelah peristiwa tersebut di atas, siapapun yang berkeinginan ke pulau Jiew harus meminta ijin kepada masyarakat gemia (kepala desa), termasuk keturunan Bornabi. Setelah Borfa turunan berikutnya adalah Monfa dan Mialang sampai generasi terakhir (saat ini) adalah Ridwan Hi Yusuf Mialang yang dipercaya oleh masyarakat Gemia dan sekitarnya sebagai penjaga pulau Jiew. Dan keluarga dari keturunan Borfa sampai saat ini masih tetap mempertahankan ritual-ritual tertentu ketika hendak ke pulau Jiew. (Hasil wawancara dengan H. Abdul Djalil H. Abdullah Ikhtibar Sjah. Pelaku sejarah pulau jiew turunan dari sultan tidore ke-9 dan Ridwan Hi Yusuf Mialang).

Sumber : DKP, Provinsi Maluku Utara, 2012




Selasa, 10 September 2013

TAK BIRU LAGI LAUTKU


TAK BIRU LAGI LAUTKU

Oleh :
Kismanto Koroy

Sepenggal lirik lagu dari seorang musisi “Iwan Fals” Tak Biru Lagi Lautku nampaknya telah memberikan sederet bukti nyata pada Negeri yang bernama Indonesia, atas beberapa peristiwa penting dalam dinamika kelautan dan pesisir Indonesia. Di tengah kompleksitas permasalahan dan krisis yang melanda Indonesia pada tahun 1998, adalah buah cerminan pada bangsa ini untuk lebih berhati-hati dalam pengambilan kebijakan dari berbagai sektor. Sebagai negara berkembang tentunnya berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah guna kemajuan bangsa, produk undang-undang dan aturan telah dilahirkan untuk mengantisipasi guncangan dari politik sampai financial, dengan satu keteguhan bahwa peran Negara yang utama adalah mensejahterakan rakyatnya (welfare state) menjadi tujuan akhir (ultimate goal) bagi bangsa-bangsa di dunia.
Kekayaan potensi sumberdaya alam yang dimiliki bangsa ini dikatakan sangat melimpah, baik sumberdaya yang ada di darat maupun di laut. Tak berhenti sampai di sini, Indonesia juga terkenal dengan negara maritim dan kepulauan terbesar dunia, terbentang sebanyak 17.504 pulau tersebar dari sabang sampai merauke, 95.181 km garis pantai (terpanjang kedua setelah Kanada), dan 5,8 juta km2 berupa laut atau 75% dari total wilayah Indonesia, adalah anugerah dari Tuhan kepada Indonesia. Bukan berbangga dengan potensi kekayaan sumberdaya yang dimiliki, akan tetapi realitas inilah yang memang telah memanjakan bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang konsumtif. Padahal “ruh” laut yang banyak menyimpan kekuatan geopolitis, sosial-ekonomis dan ekologis seolah tercerabut bagai gelombang badai laut yang menghantam perahu para pencari ikan.
Untuk mengatur dan menjaga keseimbangan sosial-ekonomi dan ekologi, produk regulasi telah banyak dilahirkan beberapa diantaranya UU nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, dengan memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelolah daerahnya sendiri, sementara untuk wilayah pesisir pemerintah mengeluarkan UU nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, mengenai pemanfaatan, termasuk di dalamnya  Hak Penguasahaan Perairan Pesisir (HP3). Produk undang-undang ini pun seakan hanya menjadi bagian penting untuk menjawab program, namun pada implementasinya masih jauh dari yang di harapkan.
Krisis kawasan pesisir kini mulai terasa. Banjir, abrasi, intrusi air laut, dan rusaknya biota di perairan adalah ongkos ligkungan dan sosial yang mesti harus di bayar, akibat dari berbagai aktivitas perindustrian, mulai (skala kecil, menengah sampai industri skala besar) saat ini tumbuh subur bagaikan jamur di musim hujan. Namun, masalah pencemaran lingkungan terutama masalah pencemaran air juga harus mendapat perhatian yang besar dari pemerintah, karena air merupakan salah satu unsur penting bagi makhluk hidup (biota laut).
Sejalan dengan meningkatnya industrialisasi, konsentrasi unsur logam berat di dalam perairan juga meningkat, sehingga menjadikan tingkat konsentrasi toksik bagi kehidupan aquatik. Salah satu logam berat yang terus meningkat konsentrasinya adalah merkuri. Ancaman kematian akibat bahan beracun ini kian meluas, telah terbukti di beberapa daerah titik perindustrian dengan penggunaan bahan-bahan kimia yang sangat beragam. Merkuri banyak digunakan sebagai bahan pemisah emas dari batuan lain dalam proses pengolahan tambang, bahan penambal gigi, bahan pengisi baterai, termometer, dan juga bahan pembuat cat (Yun, 2004). Nilai ambang batas untuk merkuri terlarut yang berada di lingkungan perairan menurut Baku Mutu Air Laut Indonesia adalah 1 ppb. Sedangkan menurut US EPA Continuous Concentration Criteria adalah 0,94 ppb (Anonim, 2004). Ambang batas merkuri yang ada dalam jaringan tubuh ikan yang aman dikonsumsi menurut FDA adalah tidak melebihi 1 ppm. Sedangkan menurut WHO dan Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah 0,5 ppm.
Beberapa penelitian ilmiah yang dilakukan baik dari (Balai Dinamika Laut Pusat Penelitian Oseanografi) LIPI pada tahun 2006 menjelaskan adanya deposit bahan tambang di beberapa pulau di Provinsi Maluku Utara, terutama mineral yang mengandung logam serta aktivitas industri cepat atau lambat akan dapat menyumbangkan kadar logam berat ke perairan laut, baik melalui peluruhan secara alami, proses geologis maupun melalui limbah industri. Keadaan ini dapat meningkatkan kadar logam berat di perairan laut, sehingga pada kadar yang relatif tinggi akan berbahaya bagi kehidupan biota perairan. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Domu Simbolon, dkk 2010 di Teluk Kao Halmahera Utara telah menemukan kandungan merkuri dan Sianida pada beberapa jenis ikan tertentu yang memiliki nilai ekonomis tinggi yang tertangkap di titik pengamatan. Kandungan merkuri beberapa jenis ikan pada bagian daging berkisar 0,03-0,25 ppm, sedangkan pada organ hati 0,13-0,51 ppm. Kandungan sianida pada bagian daging berkisar 4,2-8,5 ppm, sedangkan pada bagian hati 6,0-18,0 ppm, sehingga dikatakan Teluk Kao telah berada pada tingkat yang kritis (membahayakan) bila dikonsumsi dengan cara pengolahan yang kurang baik.
Melihat kondisi ekologi yang semakin kritis, nampaknya mendapat perhatian serius dari 75 Negara dengan sebuah pertemuan World Ocean Conference (WCO) yang di gelar pada bulan Mei 2009 di Manado, selain itu juga digelar Coral Triangle Initiative (CTI) Summit yang antara lain membahas tentang isu-isu konservasi, baik spesies maupun terumbu karang serta perikanan berkelanjutan.
Ditinjau dari sisi ekologi, pemanfaatan sumberdaya alam sebesar-besarnya bukanlah satu solusi untuk menggeser angka kemiskinan masyarakat Indonesia pada taraf ekonomi yang lebih baik, akan tetapi nampak telah memberikan sumbangsih angka kemiskinan cukup signifikan. Hal penting yang belum di perhatikan dalam pemanfaatan sumberdaya alam adalah tidak mempertimbangan faktor ekologi. Dari beberapa implikasi pelaksanaan pembangunan dengan pemanfaatan potensi sumberdaya alam kita kiranya menjadi harapan besar penulis, bahwa sudah saatnya pemerintah melakukan upaya–upaya preventif yang bersifat praksis dengan suatu penekanan yang nyata, tidak terbatas pada bagaimana melihat faktor ekonomi, tetapi faktor ekologi wajib dipertimbangkan maka akan tercipta sumberdaya yang berkelanjutan (Sustanible).
 

SKPT Morotai dan Kebijakan Pengelolaan Perikanan

SKPT Morotai dan Kebijakan Pengelolaan Perikanan (Pernah terbit di REPUBLIKA, edisi 18 Januari 2018   08:10 WIB ) Oleh : Kismanto...