Kamis, 12 Desember 2013

Gerbang Pasifik = Ilegal Fishing



( Gerbang Pasifik = Ilegal Fishing )
Refleksi Hari Nusantara 13 Desember 1957 - 2013
Kismanto Koroy

Sudah menjadi pengakuan dunia bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan (Archipelagic state), dan dinyatakan sebagai laut nusantara (Mare Nostrum) merupakan wilayah kedaulatan mutlak Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dicetuskan dan dideklarasikan oleh IR. H. Djoeanda (Deklarasi Djoeanda) pada tanggal 13 Desember 1957 dengan suatu penegasan pada dunia bahwa Indonesia punya kedaulatan penuh terhadap perairan antar pulau, maka lahirnya deklarasi Djoeanda yang ditetapkan dalam konvensi hukum laut perserikatan bangsa-bangsa (PBB) melalui United Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS) pada tahun 1982 yang mengakui konsep Negara Kepulauan sehingga lahirlah peringatan Hari Nusantara yang saat ini di peringati secara bersama dari sabang sampai merauke.
Momentum hari Nusantara saat ini, sedikit tulisan provokatif yang sengaja penulis uraikan, bukan berarti marah atau menghasut tapi mengingatkan kepada kita semua. Lagi-lagi “Ilegal Fishing” sesungguhnya ilegal fishing adalah musik klasik yang sudah lama bersenandung, bukan berarti secara hukum telah tuntas dengan penegak hukum di negeri ini, malah menjadi penyakit yang tak kunjung sembuh. Satu per satu upaya tentu dilakukan dengan tetap menjadikan para penguasa laut TNI-AL (Tentara Nasional Indonesia – Angkatan Laut), POLAIR (Polisi Perairan Republik Indonesia), dan Pengawas Perikanan sebagai tameng dalam mengawasi dan menghadapi kapal-kapal asing ini, meskipun dengan peralatan pengamanan yang terbatas. Maklum, negara dengan garis pantai terpanjang di dunia, dengan kekayaan hayati laut yang melimpah ini mungkin merasa tidak penting untuk mengelola dan memanfaatkan potensi sumberdaya laut dengan baik atau justru merasa sangat rugi harus mengeluarkan anggaran untuk membuat program dan sistem keamanan laut sehingga membiarkan 50 Trilyun omset illegal fishing itu hilang dari tahun ke tahun.
Laut Halmahera yang juga merupakan Gerbang Pasifik, ternyata menyimpan banyak potensi sumberdaya ikan dengan jumlah tangkapan ± 161.930 ton/tahun berdasarkan data KKP, 2012. Secara ekologi ruaya ikan-ikan bernilai ekonomis tinggi ini banyak ditemui di perairan Halmahera. Perairan yang menyimpan banyak potensi sumberdaya laut, tentu menjadi target negara-negara pengkonsumsi ikan maka Samudera Pasifik dapat dijadikan pintu masuk bagi kapal-kapal ikan dari negara-negara tetangga seperti Philipina, Thailand dan Taiwan sebagai daerah fishing ground untuk kegiatan penangkapan ikan secara illegal.
Ketika kita bicara soal pengembangan sektor perikanan untuk menggenjot perekonomian bangsa, maka praktek illegal fishing merupakan permasalahan yang sangat kompleks bagi dunia perikanan tangkap Indonesia. Dari hasil penelitian Neka dkk (2009) menunjukkan data empiris yang diperoleh DKP menyebutkan bahwa tiap tahun, praktek illegal fishing di wilayah perairan Indonesia tidak kurang dari seribu kapal dengan wilayah perairan target meliputi perairan kepulauan Natuna, laut Arafura dan wilayah laut Sulawesi Utara sampai Laut Halmahera. Pelanggaran illegal fishing banyak dilakukan oleh kapal-kapal Vietnam, Thailand dan Philipina. Disisi lain Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia memperkirakan illegal fishing merugikan negara hingga Rp 30 triliun (sekitar 3,11 milyar dolar) per tahun. Tapi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan atau KIARA percaya angka yang sebenarnya lebih dari 50 trilyun rupiah (5,2 miliar dolar). "Kerugian 30 triliun rupiah, itu hanya didasarkan pada nilai pokok ikan, tidak termasuk kerugian yang dihitung berdasarkan  pendapatan pajak dan kerusakan ekosistem."
Dengan kondisi yang demikian, sembari sebuah kewenangan daerah dalam mengelola daerah-nya sendiri menjadi buah bibir publik. Memang dalam politik ekologi ada semacam premis bahwa perubahan lingkungan bukanlah merupakan proses yang netral-teknis, melainkan lebih merupakan proses politik dari aktor-aktor yang terkait dengan kepentingan sumber daya alam, sehingga dikatakan bahwa perubahan lingkungan merupakan bentuk polticised environment, dan mesti harus diakui bahwa masih banyak tangan-tangan nakal yang tersembunyi.
Dalam penanganan perkara ilegal fishing menurut Hakim Agung Suhadi, membeberkan beberapa kasus perikanan di Pengadilan Negeri (PN) sepanjang tahun 2012 diantaranya; Pengadilan Negeri (PN) Medan hanya sebanyak 12 perkara, PN Pontianak 16 perkara, PN Tanjung Pinang 1 Perkara, PN Ranai 28 perkara, PN Bitung 17 kasus. Ironisnya di PN Tual dan PN Jakarta Utara malah tidak ada perkara sama sekali (baca; Indonesia Maritim Magazine, edisi 37/Tahun IV/ November 2013).  Pada pertengahan sampai akhir tahun 2013 ada sebuah fenomena yang terjadi di perairan Halmahera Tengah, beberapa kapal asing yang berasal dari Philipina melakukan penangkapan ikan di perairan Halmahera Tengah dan Morotai, padahal sudah ada post pemantauan dan pengamanan yang berada di Pulau Jiew (Pulau terluar) tepatnya berada di bibir Samudera Pasific pada sisi sebelah Timur Pulau Halmahera, yang Secara geografis terletak pada posisi 129º08’30” BT dan 00º43’39” LU, tetapi harapan ini seakan pupus begitu saja tanpa ada aksi yang membuat senang para nelayan-nelayan lokal.
Berbagai modus pencurian ikan dilakukan untuk memuluskan operasinya dan mengelabui petugas, seperti izin yang sama dimiliki beberapa kapal (izin ganda), membuat dokumen surat izin palsu, menggunakan dua bendera, transhipment ditengah laut untuk kemudian dibawah keluar negeri. Belakangan ini juga ditemukan modus baru yang dinamakan (Modos Operandi Praktek Ilegal License)  digunakan oleh perusahaan yang begerak disektor perikanan, dimana arti dari “illegal license” adalah penyalahgunaan izin dan atau cara mendapatkan izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKP RI) yang tidak sesuai dengan aturan main, kejahatan seperti ini tentu tertata rapi bahkan sampai di tingkat Kecamatan dan Desa, maka pertanyaannya siapa dibalik backing ini.?
Kecenderungan dan fakta ilegal fishing dipastikan akan terus terjadi, apabila tidak ada penanganan yang serius dari pemerintah. ketersedian sumberdaya ikan di negara mereka yang mulai habis, menjadi pendorong nelayan negara-negara sahabat untuk melakukan aktifitas penangkapan di republik ini. Kecenderungan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi nelayan-nelayan asing, oleh karena potensi sumberdaya laut Indonesia sangat menjanjikan. Disisi lain fokus pembangunan Indonesia yang masih berorentasi di daratan (land based oriented), belum lagi penerapan teknologi moderen penangkapan ikan nelayan-nelayan (Indonesia) kita masih jauh dari harapan.
Komitmen pemerintah untuk menegakan hukum di sektor kelautan, seakan menjadi bomerang tersendiri dengan aturan yang telah dikeluarkannya. Undang-undang nomor 27 tahun 2007, tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil khususnya pasal tentang Hak Pengusahan Perairan Pesisir (HP3), baru-baru ini telah digugat oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang bergerak di bidang pesisir dan laut, yang dianggap secara teoritik membuka peluang terjadinya “privatisasi” wilayah pesisir. Pada tahun 2011 pemerintah juga mengeluarkan Peraturan menteri kelautan dan perikanan RI Nomor Per 02/men/2011 pada pasal 29 ayat 11 menyebutkan, alat penangkapan ikan dengan jaring morami dilarang beroperasi dijalur perikanan Indonesia. Belum berakhir sampai disini, muncul semangat baru pemerintah Indonesia pada dunia internasional untuk membangun 20 juta hektar kawasan konservasi perairan, pesisir, dan pulau-pulau kecil tahun 2020, yang dipandang sebagai salah satu upaya untuk melindungi habitat-habitat kritis, mempertahankan, dan meningkatkan kualitas sumberdaya, melindungi sumberdaya hayati dan proses-proses ekologi. Maka sebagai negara yang kaya dengan potensi sumberdaya alamnya, tentu menjadi primadona dunia Internasional.
Singkat cerita, melihat pelbagai terobosan yang dilakukan oleh pemerintah, bagi penulis masih kurang menyentuh dengan nelayan kita. Kehadiran penulis bukanlah sebagai penentu kebijakan masa depan perikanan Maluku Utara, namun beberapa langkah preventif yang bagi penulis masih produktif untuk dilakukan dalam mengatasi masalah ilegal fishing di daerah perbatasan dan pulau terluar, terkhususnya kawasan timur Indonesia menjadi penting, antara lain; 1) Peningkatan armada tangkap bagi nelayan lokal dengan sarana komunikasi sebagai informan aktifitas Illegal fishing, 2) Peningkatan kegiatan pengawasan dan memaksimalkan peran TNI-AL, SATPOLAIR, dan lembaga-lembaga terkait dalam pengawasan sumberdaya perikanan, 3) Pemberian sanksi yang tegas guna memberikan efek jera kepada oknum yang terlibat dalam pelanggaran dibidang perikanan, 4) Memperbaiki koordinasi dan hubungan antara instansi terkait dalam pengelolaan sumberdaya di perairan Indonesia, 5) Membuat (Momerandum of Understanding) MOU/ kerjasama regional dan Internasional dalam penanganan ilegal fishing, 6) Menghadirkan pengadilan perikanan khusus wilayah Maluku Utara, 7) Mengembangkan aktifitas potensial oleh masyarakat maupun pemerintah pada wilayah yang sering dijadikan kawasan persembunyian kapal asing.
“Dalamnya laut bisa ditebak, namun dalamnya hati siapa yang tahu”

SKPT Morotai dan Kebijakan Pengelolaan Perikanan

SKPT Morotai dan Kebijakan Pengelolaan Perikanan (Pernah terbit di REPUBLIKA, edisi 18 Januari 2018   08:10 WIB ) Oleh : Kismanto...