TAK BIRU LAGI LAUTKU
Oleh :
Kismanto Koroy
Sepenggal lirik lagu dari seorang musisi
“Iwan Fals” Tak Biru Lagi Lautku
nampaknya telah memberikan sederet bukti nyata pada Negeri yang bernama
Indonesia, atas beberapa peristiwa penting dalam dinamika kelautan dan pesisir
Indonesia. Di tengah kompleksitas permasalahan dan krisis yang melanda
Indonesia pada tahun 1998, adalah buah cerminan pada bangsa ini untuk lebih
berhati-hati dalam pengambilan kebijakan dari berbagai sektor. Sebagai negara
berkembang tentunnya berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah guna kemajuan
bangsa, produk undang-undang dan aturan telah dilahirkan untuk mengantisipasi
guncangan dari politik sampai financial, dengan satu keteguhan bahwa peran
Negara yang utama adalah mensejahterakan rakyatnya (welfare state) menjadi tujuan akhir (ultimate goal) bagi bangsa-bangsa di dunia.
Kekayaan potensi sumberdaya alam yang dimiliki
bangsa ini dikatakan sangat melimpah, baik sumberdaya yang ada di darat maupun
di laut. Tak berhenti sampai di sini, Indonesia juga terkenal dengan negara maritim
dan kepulauan terbesar dunia, terbentang sebanyak 17.504 pulau tersebar dari
sabang sampai merauke, 95.181 km garis pantai (terpanjang kedua setelah
Kanada), dan 5,8 juta km2 berupa laut atau 75% dari total wilayah
Indonesia, adalah anugerah dari Tuhan kepada Indonesia. Bukan berbangga dengan
potensi kekayaan sumberdaya yang dimiliki, akan tetapi realitas inilah yang
memang telah memanjakan bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang konsumtif.
Padahal “ruh” laut yang banyak menyimpan kekuatan geopolitis, sosial-ekonomis
dan ekologis seolah tercerabut bagai gelombang badai laut yang menghantam
perahu para pencari ikan.
Untuk mengatur dan menjaga keseimbangan
sosial-ekonomi dan ekologi, produk regulasi telah banyak dilahirkan beberapa
diantaranya UU nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, dengan memberikan
kewenangan kepada daerah untuk mengelolah daerahnya sendiri, sementara untuk
wilayah pesisir pemerintah mengeluarkan UU nomor 27 tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, mengenai pemanfaatan,
termasuk di dalamnya Hak Penguasahaan
Perairan Pesisir (HP3). Produk undang-undang ini pun seakan hanya menjadi
bagian penting untuk menjawab program, namun pada implementasinya masih jauh
dari yang di harapkan.
Krisis kawasan pesisir kini mulai
terasa. Banjir, abrasi, intrusi air laut, dan rusaknya biota di perairan adalah
ongkos ligkungan dan sosial yang mesti harus di bayar, akibat dari berbagai
aktivitas perindustrian, mulai (skala kecil, menengah sampai industri skala
besar) saat ini tumbuh subur bagaikan jamur di musim hujan. Namun, masalah
pencemaran lingkungan terutama masalah pencemaran air juga harus mendapat
perhatian yang besar dari pemerintah, karena air merupakan salah satu unsur
penting bagi makhluk hidup (biota laut).
Sejalan dengan meningkatnya
industrialisasi, konsentrasi unsur logam berat di dalam perairan juga
meningkat, sehingga menjadikan tingkat konsentrasi toksik bagi kehidupan
aquatik. Salah satu logam berat yang terus meningkat konsentrasinya adalah merkuri.
Ancaman kematian akibat bahan beracun ini kian meluas, telah terbukti di
beberapa daerah titik perindustrian dengan penggunaan bahan-bahan kimia yang
sangat beragam. Merkuri banyak digunakan sebagai bahan pemisah emas dari batuan
lain dalam proses pengolahan tambang, bahan penambal gigi, bahan pengisi
baterai, termometer, dan juga bahan pembuat cat (Yun, 2004). Nilai ambang batas
untuk merkuri terlarut yang berada di lingkungan perairan menurut Baku Mutu Air
Laut Indonesia adalah 1 ppb. Sedangkan menurut US EPA Continuous
Concentration Criteria adalah 0,94 ppb (Anonim, 2004). Ambang batas merkuri
yang ada dalam jaringan tubuh ikan yang aman dikonsumsi menurut FDA adalah
tidak melebihi 1 ppm. Sedangkan menurut WHO dan Standar Nasional Indonesia
(SNI) adalah 0,5 ppm.
Beberapa penelitian ilmiah yang dilakukan baik
dari (Balai Dinamika Laut Pusat
Penelitian Oseanografi) LIPI pada tahun 2006 menjelaskan adanya deposit
bahan tambang di beberapa pulau di Provinsi Maluku Utara, terutama mineral yang
mengandung logam serta aktivitas industri cepat atau lambat akan dapat
menyumbangkan kadar logam berat ke perairan laut, baik melalui peluruhan secara
alami, proses geologis maupun melalui limbah industri. Keadaan ini dapat
meningkatkan kadar logam berat di perairan laut, sehingga pada kadar yang
relatif tinggi akan berbahaya bagi kehidupan biota perairan. Sedangkan
penelitian yang dilakukan oleh Domu
Simbolon, dkk 2010 di Teluk Kao
Halmahera Utara telah menemukan kandungan merkuri dan Sianida pada beberapa
jenis ikan tertentu yang memiliki nilai ekonomis tinggi yang tertangkap di
titik pengamatan. Kandungan merkuri beberapa jenis ikan pada bagian daging
berkisar 0,03-0,25 ppm, sedangkan pada organ hati 0,13-0,51 ppm. Kandungan
sianida pada bagian daging berkisar 4,2-8,5 ppm, sedangkan pada bagian hati
6,0-18,0 ppm, sehingga dikatakan Teluk Kao telah berada pada tingkat yang
kritis (membahayakan) bila dikonsumsi
dengan cara pengolahan yang kurang baik.
Melihat kondisi ekologi yang semakin
kritis, nampaknya mendapat perhatian serius dari 75 Negara dengan sebuah
pertemuan World Ocean Conference (WCO)
yang di gelar pada bulan Mei 2009 di Manado, selain itu juga digelar Coral Triangle Initiative (CTI) Summit yang antara lain membahas tentang
isu-isu konservasi, baik spesies maupun terumbu karang serta perikanan
berkelanjutan.
Ditinjau dari sisi ekologi, pemanfaatan
sumberdaya alam sebesar-besarnya bukanlah satu solusi untuk menggeser angka
kemiskinan masyarakat Indonesia pada taraf ekonomi yang lebih baik, akan tetapi
nampak telah memberikan sumbangsih angka kemiskinan cukup signifikan. Hal
penting yang belum di perhatikan dalam pemanfaatan sumberdaya alam adalah tidak
mempertimbangan faktor ekologi. Dari beberapa implikasi pelaksanaan pembangunan dengan pemanfaatan
potensi sumberdaya alam kita kiranya menjadi harapan besar penulis, bahwa sudah
saatnya pemerintah melakukan upaya–upaya preventif yang bersifat praksis dengan
suatu penekanan yang nyata, tidak terbatas pada bagaimana melihat faktor
ekonomi, tetapi faktor ekologi wajib dipertimbangkan maka akan tercipta
sumberdaya yang berkelanjutan (Sustanible).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar