Selasa, 24 Mei 2016


(CAHAYA DI TANAH DAMULI : Karya Anak Fagogoru)

Oleh :
Kismanto Koroy

Kronologis :
Berawal dari usaha perbengkelan motor dan usaha dagang sembako (sembilan bahan pokok), di Desa Peniti Kecamatan Patani Timur, Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara. Lelaki bernama lengkap Asrif Nasir (34),memulai ide gilanya dengan merakit sebuah mesin penerangan menggunakan dynamo berkapasitas 3000 wattdari sisa-sisa bahan rongsokan.Lelaki yang biasa disapa dengan nama “Ifo” terinspirasi untuk melakukan ide gila tersebutdengan alasan sederhana.
Pada suatu malam, ketika sedang keluar dengan anak keduanya (Rehan) di kampung tetangga (Masure) untuk bersilaturahmi di keluarganya. Selepas dari silaturahmi dengan keluarga, Asrif pamitan untuk kembali ke-rumahnya. Saat perjalanan pulang ke-rumah, tiba-tiba lampu PLN padam. Spontan ketika jalanan sudah tidak ada cahaya untuk menerangi perjalanan pulang mereka, Ifo langsung mengatakan kepada anaknya “tong istrahat dulu, lampu masih mati kon” untuk berhenti sejenak. Persis dihadapan mereka berdiri kokoh sebuah bangunan Mesjid (tempat ibadah), juga terlihat gelap tanpa ada cahaya sedikitpun. Waktu berlalu, tak terasa ± 2 (dua) jam dia menunggu. Dalam benaknya bertanya-tanya, kenapa tidak ada satu orangpun yang bisa menaikkan lampu pelita (loga-loga) kedalam mesjid tersebut.? Padahal disekitar bangunan mesjid sudah terlihat cahaya-cahaya pelita dan lilin yang menerangi rumah-rumah warga. Tak habis pikir, dengan sedikit rasa kesal terlihat diwajahnya, Asrif memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pulang ke rumah.

Sesampainya mereka dirumah, waktu sudah menunjukan pukul. 02.00 WIT, Ifo masih terus berpikir, kenapa sampai sekarang di Desa ini kondisi lampu PLN masih belum normal, padahal beberapa tahun yang lalu Desa-nya baru resmi menggunakan lampu penerangan dari pemerintahalias PLN. Sambil berlalu-lalang di dalam rumah, sesekali Ifo melihat barang-barang rongsokan yang rencananya akan dijual kepembeli besi tua.Malam itu benar-benar sulit bagi dirinya, sepintas ada khayalan“kalau saya jadi Bupati, saya akan pasang lampu siang-malam di kampung ini”namun tersadar dari khayalan itu dia kemudian berkatahaltersebut tak mungkin terjadi pada dirinya, apalagi hanya lulusan SD (Sekolah Dasar) seperti saya ini. Lantas sumbangsih apa yang harus dipersembahkan untuk kampung ini.? Kembali ke tempat barang-barang rongsokan, tiba-tiba ada ide gila yang muncul dipikirannya untuk merakit sebuah mesin penerangan yang disebut oleh-nya “listrik tenaga air” (PLTA)dengan menggunakan bahan-bahan rongsokan yang dia miliki.
Singkat cerita sebuah karya anak Fagogoru, yang dilatar belakangi oleh fakta sosial di negeri ini, merupakan bukti nyata yang mesti diberi apresiasi.Karya yang dianggap oleh sebagian orang atas ide yang dilakukan oleh Ifo, mengatakan bahwa apa yang dibuatnya sangat tidak mungkin. Sikap tegar dan optimis sembari tetap berusaha dan berdo’a atas apa yang dilakukannya, tidaklah surut meskipun harus mengorbankan waktu, tenaga, pikiran bahkan uang dari hasil jualan sembako dan usaha perbengkelan yang dia geluti. Bermodalkan barang-barang rongsokan seperti; drum, felek motor, dynamo, besi bekas dan pipa yang dipinjam dari tetangga rumahnya, Ifo memulai untuk merakit mesin tenaga air (PLTA). Waktu berjalan, setiap harinya Ifo disibukkan dengan aktifitasnya merancang mesin tersebut. Tak terasa, waktu yang dihabiskan sudah 1 (satu) tahun 15 hari, mulai dari perencanaan sampai finish. Tepatnya di tanggal 4 Februari 2016, pemasangan alat sekaligus uji coba mesin dilakukan, dibantu oleh sebagian masyarakat yang merasa penasaran atas karya yang dilakukan oleh Asrif. Rasa penasaran masyarakat yang semakin memuncakatas apa yang dilakukan olehnya, membuat Ifo sedikit khawatir meskipun dia juga lebih penasaran. Waktu pemasangan telah selesai, uji coba-pun dimulai, hasilnya ketika kincir angin yang dirakit sudah berputar setelah dialiri air dengan tekanan cukup deras, dan hasilnya balon lampu yang dipasang di bawah pepohonan langsung menyala.
Alat Penerangan dan Komitmen Pemerintah
Tanggal 5 - 6 April 2016, sebuah momen penting bagi Pemerintah Daerah bahkan sebagian besar masyarakat yang ada di Maluku Utara, karena telah kedatangan tamu Negara (Presiden RI) Bapak. Joko Widodo dan beberapa Menteri-nya. Dalam kunjungan kerja tersebut dengan agenda peresmian pembangunan infrastruktur seperti jembatan pelabuhan dan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) di Kabupaten Pulau Morotai dan Kabupaten Halmahera Utara. Dalam sambutannya, Presiden RI Bapak. Joko Widodo mengatakan bahwa pemerintah akan berkomitmen untuk membangun fasilitas-fasilitas umum diwilayah timur Indonesia terutama alat penerangan dan jembatan pelabuhan, sebagaimana yang diberitakan beberapa media cetak dan eletronik.
            Pengembanganpembangkit listrik dengan memanfaatkan sumber daya alam sebagai energi terbarukan, merupakan langkah preventif pemerintah pusat yang mesti diapresiasi. Sadar akan pentingnyakomitmen pemerintah pusat dalam capaian target menuju “Indonesia Terang”, maka langkah tegas yang patut di teladani bagi setiap kepala-kepala daerah, baik ditingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/ kota untuk bersinergi.Kapasitas sumber daya alam yang dimiliki Maluku Utara terhitung cukup mendukungprogram pemerintah, mulai dari PLTS/ PLTU/ dan PLTA. Pembangunan infrastruktur di bidang penerangan sudah dilakukan dibeberapa daerah di-Indonesia termasuk Maluku Utara. Beberapa diantaranya yang dibangun di Kabupaten Pulau Morotai dan Kabupaten Halmahera Utara.Disisi lain, ketika komitmen pemerintah yang semakin menggiliat, ada pemandangan tak enak terlihat dari wajah masyarakat se-Kecamatan Patani atas kondisi lampu penerangan yang beroperasi tidak normal. (baca kronologis).Kondisi seperti ini terjadi di beberapa Desa di Kabupaten Halmahera Tengah, bahkan di beberapa kabupaten/ kota di wilayah Maluku Utara.

Sejarah Kepemilikan dan Penamaan Pulau Sayafi dan Liwo
Oleh :
Kismanto Koroy

Tulisan ini merupakan beberapa bagian dari penelitian Tesis (S2) penulis yang membahas tentang pengelolaan Ekowisata Bahari di pulau Sayafi dan Liwo. Karena keterbatasan informan, sehingga isi tulisan ini belum secara detail membahas tentang sejarah kedua pulau tersebut. Meng-Upload tulisan ini hanya sekedar membagi informasi dan pengetahuan kepada pembaca, terutama teman-teman generasi Gamrange, terlebih juga sedikit memprovokasi teman-teman yang menggeluti kajian-kajian tentang sejarah (history). Menyadari hal tersebut, untuk tetap memberikan informasi pada generasi-generasi penerus, penting kiranya untuk terus menggali informasi, mengkaji dan menuliskan dalam bentuk buku Sejarah Gamrange atau apapun namanya, diperlukan sebuah kajian yang detail dari para pakar dan sejarawan sehingga tidak ada dusta diantara kita (pembelokan sejarah).***
Sejarah Kepemilikan. Bermula dari sejarah asal-usul kepemilikan pulau Sayafi dan Liwo secara sah menurut hukum adat masyarakat Patani. Sebelum pengesahan kepemilikan pulau Sayafi dan Liwo, awal mulanya telah terjadi sengketa kepemilikan pulau Sayafi dan Liwo, antara masyarakat Desa Bicoli, Gemia dan masyarakat Tepeleo.Karena telah terjadi sengketa dan klaim kepemilikian pulau, maka lahirlah musyawarah atau rekonsiliasi dengan satu kesepakatan untuk menentukan moment penting yang di namakan “Falipes” dalam bahasa lokal masyarakat Patani yang artinya perebutan. Isi kesepakatan dalam moment “Falipes” yaitu siapa yang duluan tiba dan mengetahui nama tumbuh-tumbuhan (SDA) di kedua pulau tersebut dan langsung mengetuk Gong, maka mereka akan berhak memiliki kedua pulau tersebut. Setelah ditetapkan kesepakatan tersebut, ivent perebutan “Falipes” pun dilakukan.
Berlangsungnya ivent “Falipes”, untuk menentukan hak kepemilikan pulau, dalam perjalanan menuju pulau Sayafi dan Liwo, ternyatayang datang lebih awal di kedua pulau tersebut adalah masyarakat dari Desa Bicoli dan langsung menujuke dusun Botolo dan Biawsowo, menyusul masyarakat dari Desa Gemia,mereka langsung menuju ke dusun Nyinyen Wolot, sementara masyarakat dari Desa Tepeleo yang datang paling terakhir langsung menuju ke dusun Piyasili.
Masyarakat dari Desa Bicoli datang lebih awal, karena secara geografis Desa Bicoli memiliki jarak lebih dekat menuju ke pulau Sayafi dan Liwo. Sedangkan masyarakat dari Desa Gemia dan Desa Tepeleo memiliki jarak tempuh sama, namun yang datang kedua setelah Bicoli adalah masyarakat dari Desa Gemia. Setibanya mereka di pulau Sayafi dan Liwo, nampaknya potensi sumberdaya alam yang melimpah, membuat masyarakat dari Desa Bicoli dan Desa Gemia terjebak dengan potensi alam yang ada di kedua pulau tersebut, sehinnga mereka kemudian mengabaikan kesepakatan dalam ivent “Falipes” dan tetap berada di pesisir pantai pulau Sayafi dan Liwo. Sementara masyarakat dari Desa Tepeleo yang datang paling terakhir langsung menuju ke hutan pulau Sayafi dan langsung mengidentifikasi jenis-jenis pohon (SDA). Setelah sesudah mengidentifikasi nama-nama pohon di hutan, mereka langsung mengetuk Gong, sebagai tanda mereka telah berada di pulau Sayafi dan Liwo. Berdasarkan kesepakatan tersebut diatas, maka hak asal-usul kepemilikan secara sah menurut hukum adat, pulau Sayafi dan Liwo menjadi hak milik masyarakat Desa Tepeleo.
Penamaan. Secara etimologi kata Sayafi berasal dari dua suku kata yaitu “Sa” dan “Ip”. Kata “Sa” dalam bahasa lokal masyarakat Patani artinya karang dan “Ip” artinya tumpukan sampah yang berserakan dan terbawa oleh arus air laut. Jadi tumpukan-tumpukan sampah yang terbawa oleh arus air laut ke permukaan karang yang lama-kelamaan kemudian terbentuklah pulau-pulau kecil. Sedangkan kata Liwo ditinjau dari aspek penamaan, juga berasal dari bahasa lokal masyarakat Patani yang terdapat dalam dua suku kata yaitu “Li” artinya bunyi dan “Wo” artinya akar. (Bengen et al. 2012) mengatakan bahwa tipe pulau yang dimaksud seperti pada pengertian secara etimologi di atas adalah termasuk dalam tipe pulau karang timbul (Raised Coral Island)pulau yang terbentuk oleh terumbu karang yang terangkat ke atas permukaan laut, karena adanya gerakan ke atas (uplift) dan gerakan ke bawah (subsidence) dari dasar laut akibat proses geologi. Pada saatdasar laut berada dekat permukaan (kurang dari 40 m), terumbu karang mempunyai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang di dasar laut yang naik tersebut. Setelah berada di atas permukaan air laut, karang akan mati dan menyisakanterumbu. Jika proses ini berlangsung terus, maka akanter bentuk pulau karang timbul. Pada umumnya karang yang timbul ke permukaan laut berbentuk teras-teras seperti sawah dipegunungan. Proses ini dapat terjadi pada pulau-pulau vulkanik maupun non-vulkanik.
Penggabungan dua suku kata “Sa” dan “Ip”, menjadi sebutan nama pulau dalam bahasa lokal masyarakat Patani yaitu “Sayif”. Nama “Sayif” bahkan lebih dikenal oleh masyarakat Bicoli dan Buli di Halmahera Timur dan di Papua khususnya suku Has dan Maga Kecamatan Penginabuan. Sedangkan nama Liwo “Li” dan “Wo” lebih ditinjau pada aspek penamaan yaitu “Li” artinya bunyi dan “Wo” artinya akar, sehingga sebutan nama pulau lebih dikenal dengan nama Liwo. Secara nasional nama kedua pulau tersebut adalah “Sayafi dan Liwo”.***

(Hasil wawancara; Bapak. Basir Hi.Salasa (Aparat Pemerintah Desa Tepeleo Batu Dua), dan Bapak. Julfian Hi.Usman (Toko Masyarakat Peduli Pulau Sayafi dan Liwo).

SKPT Morotai dan Kebijakan Pengelolaan Perikanan

SKPT Morotai dan Kebijakan Pengelolaan Perikanan (Pernah terbit di REPUBLIKA, edisi 18 Januari 2018   08:10 WIB ) Oleh : Kismanto...