Refleksi
: Tanggung Jawab Utopis Dinas Kelautan Dan
Perikanan Kabupaten Halmahera Tengah
Tak
bisa ditolak, untung tak bisa diraih. Begitulah potret nasib kaum nelayan dari
dulu hingga sekarang. Setiap hari mereka mencari dan menangkap ikan -terkadang
mempertaruhkan nyawa- di tengah lautan ganas. Kendati begitu, justru
kesengsaraan dan kemiskinanlah yang senantiasa menghampiri mereka. Penghasilan
minim, ongkos operasional tinggi, harga ikan murah, dan sulitnya modal; itulah
kondisi yang terus menghantui para nelayan.
Sebagai
Archipelagic state Indonesia pun di tuntut untuk dapat mengakselarasi
pembangunan secara sustanible,
menilik kondisi geografis dan geostrategis sumberdaya alam yang dimiliki oleh
perairan Indonesia ternyata memiliki daya dukung lingkungan (carryng capacity) serta jasa-jasa
lingkungan yang belum di eksplorasi secara masiv.
Kebijakan
pembangunan disektor kelautan dan perikanan belum berhasil menyelesaikan
permasalahan kemiskinan nelayan secara mendasar. Bagi Pemerintah, ikan
merupakan sumber daya potensial untuk pembiayaan pembangunan. Pemerintah lokal
bisa memperolehnya melalui pungutan pajak/ retribusi atas transaksi perdagangan
ikan di TPI ( Tempat Pelelangan Ikan ). Sebagai
bangsa yang memiliki jiwa kebaharian, maka kita harus menamakan kecintaan akan
laut dan harus dapat dimanfaatkan, melestarikan dan mengamankan kawasan laut
bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia pada masa yang akan datang.
Halmahera
Tengah memiliki luas laut ± 80 % yang lebih besar daripada luas daratan, dengan
luas wilayah sebagian besar adalah perairan laut, maka potensi sumberdaya
perikanan dan kelautan baik sumberdaya dapat diperbaharui (renewable reseurces) dan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable resources) serta
jasa-jasa lingkungan (environmental
services) didalamnya merupakan aset yang sangat potensial untuk
dikembangkan, namun sungguh disayangkan bila potensi yang sedemikian besar ini dibiarkan
begitu saja bahkan Pemerintahnya pun turut mengamini potensi
ini hilang entah kemana. Kondisi ini diperparah lagi dengan merajalelanya Ilegal Fishing yang dilakukan oleh
nelayan asing (Philipine) di perairan Halmahera Tengah yang terus terjadi
menyebabkan produktifitas nelayan lokal menurun karena kalah bersaing.
Wilayah
perairan Halmahera Tengah dan Pulau Morotai dapat dijadikan nelayan asing sebagai
pintu masuk keluar (Fishing Ground) untuk
penangkapan/ mencuri ikan, tanpa bisa ditangkap oleh aparat keamanan. Pihak
pengamanan dilaut harus berani mengambil tindakan tegas terhadap
nelayan-nelayan asing yang menangkap ikan diwilayah NKRI. Jangan lagi ada yang
membolehkan, tapi juga ada yang melarang sehingga masyarakat dibuat bingung
mana yang bisa didengar pernyataanya. Inilah yang perlu dikikis oleh pemerintah
Halmahera Tengah guna menyatukan pendapat dan persepsi demi membangun Negara
ini kedepan. Ada pepatah mengatakan “
Guru kencing berdiri, maka murid kencing berlari”. Inilah yang harus
dihindari, jangan sampai pemerintah dan aparat yang melarang dibelakang
memberikan izin lagi. Beberapa kebijakan pemerintah Kabupaten, yang bagi
penulis menjadi kurang produktif dalam upaya mendukung optimalisasi pemanfataan
sumberdaya perikanan dan kelautan, dapat dilihat dari :
1. Lemahnya
penanganan dalam pengawalan kasus Illegal
Fishing oleh nelayan-nelayan asing yang sudah ditangkap oleh pihak
pengamanan, dikarenakan tidak ada komitmen penegak hukum dibidang perikanan
ditingkat Provinsi maupun kabupaten dan kota. Kasus beberapa kapal asing pada beberapa tahun yang lalu yang sudah tertangkap
diperairan Halmahera Tengah tepatnya di Kecamatan Patani, namun masih tetap
beroperasi hingga beberapa tahun terakhir.
2. Prioritas
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, sektor pertambangan dan energi
serta kehutanan masih menjadi prioritas dalam upaya mendapatkan sumber PAD bagi
daerah. Padahal, dari kedua sumberdaya ini, disamping memang mendapat PAD yang
signifikan bagi daerah, akan tetapi juga telah menyebabkan timbulnya kerusakan
sumberdaya dan konflik sumberdaya. Beberapa kasus konflik sumberdaya antara
perusahan pertambangan dengan masyarakat lokal (Kasus Pulau. Gebe dan WBN) serta kasus lain dapat diidentifikasi
dengan jelas di daerah ini, kiranya sudah menjadi bahan evaluasi untuk kita.
3. Pemberian
bantuan kapal penangkapan dan alat penangkapan ikan untuk nelayan yang memiliki
kapasitas dibawah standar, sehingga membuat nelayan dalam melakukan pelayaran
pada daerah Fishing ground, tidak
bisa ditempuh dengan menggunakan kapal yang berkapasitas dibawah standar,
karena kondisi ini dapat mengancam keselamatan nelayan (Kasus salah satu nelayan Gebe yang hilang dan belum ditemukan sampai
saat ini). Lebih parah lagi pemberian bantuan yang salah sasaran alias
bukan pada nelayan akibatnya bantuan-bantuan yang diberikan dipergunakan untuk
kepentingan lain bukan lagi untuk kegiatan menangkap ikan.
4. Tidak
adanya konsep yang sinergitas antara pemerintah Kabupaten, Provinsi dan Pusat
yang mengarah pada pembangunan sektor Perikanan dan Kelautan yang jelas bagi
daerah ini. Hal ini bisa dilihat dari dua hal : Pertama, bahwa pembangunan perikanan dan kelautan yang dilakukan
selama ini, ternyata belum berhasil mengangkat taraf hidup masyarakat pesisir/
nelayan didaerah ini. Kedua, dampak
pembangunan yang selama ini dilakukan ternyata telah menurunkan kualitas
lingkungan laut dan pesisir beserta sumberdaya yang terkandung didalamnya.
Dilain sisi
kendala yang menghambat proses pembangunan sector perikanan saat ini
adalah Ilegal fishing, mengapa tidak
ketika kebijakan Pemerintah untuk menghadirkan suatu lembaga hukum yang
menangani Ilegal fishing sebut saja
PENGADILAN PERIKANAN masih belum terealisasikan, seakan menjadi suatu ketakutan,
padahal kasus terbesar untuk Ilegal
fishing terdapat diperairan Maluku Utara. Berbagai kajian lanjutan yang
dilakukan oleh pihak akademisi mendeskripsikan dengan jelas potensi perikanan Maluku
Utara adalah lumbung ikan tuna, hal ini jelas di jabarkan dalam kongres tuna Internasional
di General Santos Philipina. Yang kedua pembentukan post-post pengawasan
didaerah yang rawan pencurian Ikan belum
maksimal, hal ini dikarenakan minimnya penyediaan sarana dan prasarana
pengawasan pengamanan laut (kapal-kapal patroli AL-Angkatan Laut) masih berada dibawah standar dengan fasilitas yang
sudah mengalami kerusakan.
Dari
indikator kebijakan daerah diatas, dapat dikatakan bahwa komitmen dan kemauan
pemerintah daerah untuk menjadikan potensi besar daerah ini menjadi energi
untuk menjalankan mesin pembangunan daerah ini sangatlah kurang. Harus kita
akui bahwa perikanan sebagai pemain kecil, dalam sebuah dinamika orkestra
pembangunan ini, bukan karena perikanan tidak berpotensi, tetapi potensi perikanan
Halmahera Tengah belum ditunjukkan secara nyata sehingga banyak orang
beranggapan bahwa dunia perikanan itu merupakan dunia hayalan. Peluang untuk
meningkatkan pengembangan perikanan di masa datang, cukup besar antara lain
karena sumberdaya perikanan yang tersedia cukup besar potensinya, memiliki
keunggulan komparatif, peluang pemasaran cukup baik dan belum dimanfaatkan. Untuk
meningkatkan produksi ikan sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir/
nelayan, maka diperlukan suatu sistem pengolahan sumberdaya perikanan yang
berkelanjutan, melalui usaha intensifikasi, ekstensifikasi dan rehabilitasi.
Usaha ini harus didukung oleh berbagai jenis usaha lainya, misalnya melalui upaya
restorasi ekosistem hutan bakau, konservasi ekosistem terumbu karang dan
pencegahan pencemaran laut.
Untuk
mengelola potensi kawasan laut Halmahera Tengah, dituntut adanya keterpaduan
dalam kebijaksanaan dan penanganan melalui koordinasi yang kontinu dengan melibatkan
stack holder yang berkompeten pada
sektor kelautan dan perikanan, baik dalam perencanaan maupun dalam pelaksanaan
kegiatan oleh masing-masing yang berwenang. Kita tahu bahwa konvensi Hukum Laut
Internasional (UNCLOS) pada tahun 1982 sebagaimana telah diberlakukan sebagai
Hukum Internasional. Dengan demikian masalah-masalah kelautan memerlukan
penanganan yang menyeluruh dan lebih terintegrasi, baik dalam kebijaksanaan
nasional maupun yang bersifat operasional dilapangan.
Strategi
pengembangan kawasan Perikanan 2010-2014 sebagai komoditas unggulan oleh
Pemerintah Propinsi Maluku Utara, menempatkan Kab. Halmahera Tengah pada
prioritas ke-III untuk perikanan tangkap
(Tuna), sedangkan perikanan budidaya
untuk ( Budidaya Rumput Laut Dan Kerapu )
menempatkan Halmahera Tengah pada prioritas ke-II. (Baca: Kebijakan dan Startegi Pembangunan Kelautan dan Perikanan Provinsi
Maluku Utara. Seminar Kepulauan Dan Kemah Riset Himpunan Mahasiswa Perikanan
Indonesia Wilayah VII). Hal terpenting yang patut diperhatikan demi
terciptanya keterpaduan dalam memanfaatkan laut bukan dilaksanakan hanya
berdasar pada resep ekonomi, akan tetapi keseimbangan ekologi mutlak
diperlukan. Oleh karena itu diperlukan ketersedian teknologi yang lebih baik,
tumbuhnya budaya bahari, berkembangnya penataan pola migrasi biota laut, dan meluasnya
teknik budidaya perikanan laut yang ramah lingkungan.
Akhir
dari tulisan ini marilah meretas asa diatas samudera dari laut kita membangun,
laut masa depan kita. “Bila Hatimu
Bergetar Marah Melihat Ketidak Adilan Maka Kita Adalah Kawan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar